Reporter: Nurul Kolbi, Sam Cahyadi, Nina Dwiantika |
JAKARTA. Penolakan terhadap rencana pembatasan kepemilikan mayoritas bank di tangan satu pihak, rupanya hanya ramai di dalam negeri. Di kalangan investor asing, rencana Bank Indonesia (BI) ini malah menuai sambutan baik. Mereka hanya membutuhkan kejelasan masa transisi dan mekanisme divestasi, bukan mempersoalkan substansi kebijakan.
Akhir pekan lalu, investor asing sebuah bank besar mengemukakan pernyataan ini kepada KONTAN. Investor dari di Asia itu beralasan, selain beleid memiliki tujuan positif, di negara lain pembatasan kepemilikan sudah lumrah. "Di negara kami, bahkan jauh lebih ketat," kata Chief Executive Officer (CEO), induk perusahaan sebuah bank di Indonesia yang mayoritas sahamnya milik asing.
Ia juga menepis anggapan, investor asing bakal pergi jika aturan itu berlaku. Bagi investor, yang paling penting seberapa besar keuntungan mereka, bukan berapa besar kepemilikan saham. "Di Arab Saudi kami hanya boleh memiliki saham bank 10%. Itu bukan masalah, karena return on investment (ROI) masih sesuai target," katanya, tanpa menyebut ROI, atau tingkat pengembalian investasi, yang diperoleh dari bank di Arab Saudi maupun di Indonesia.
Argumentasi itu mungkin benar, setidaknya jika mengacu di negeri ini. Misalnya rasio net interest margin (NIM). Data BI Juni 2011 menunjukkan, rata-rata NIM bank mencapai 5,79%. Bandingkan dengan NIM bank di Malaysia 2% - 3%.
Bank yang bermain di kredit mikro, berpeluang mencetak NIM lebih besar. Sebut saja, Bank Danamon, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), yang konsisten membukukan NIM di atas 8%. NIM menunjukkan selisih antara bunga simpanan dengan bunga kredit. Semakin besar spread, semakin menguntungkan.
Indikator lain, pertumbuhan aset dan laba. Per Juni, industri perbankan mencetak laba Rp 46,69, melonjak 22,3% (year on year/yoy). Sementara aset tumbuh 19,3% menjadi Rp 3.195,11 triliun (yoy).
Menurut sumber KONTAN, investor asing sedang menanti-nanti kejelasan masa transisi dan mekanisme divestasi. Ia berharap, transisi lebih longgar dengan mempertimbangkan masa kepemilikan saham. Maksudnya, investor yang masuk belakangan mendapat waktu lebih lama ketimbang yang masuk lebih dulu.
Selain memberikan kesempatan investor mencapai titik impas, pengelompokkan waktu divestasi ini penting agar pemilik lama tidak kesulitan mencari pembeli. Jika bersamaan dengan durasi singkat, harga akan tertekan. Idealnya, kata dia, masa transisi antara 5 hingga 7 tahun.
Soal mekanisme pelepasan saham, investor juga meminta kepastian hukum tentang boleh tidaknya share swap atau menukar saham dengan pemilik bank lain. Misalnya pemilik saham Bank Internasional Indonesia (BII) melepas sebagian sahamnya ke pemilik Bank Danamon atau Bank Permata. Nanti, pemegang saham di kedua bank itu melakukan hal sebaliknya ke BII. Tukar guling ini bisa saja melibatkan lebih dari dua pihak.
Menurut ekonom Mirza Adityaswara, gagasan ini sulit karena akan membentur aturan kepemilikan tunggal alias single presence policy (SPP).
Aturan SPP melarang investor menjadi pemegang saham pengendali di beberapa bank. Apabila ingin memiliki lebih dari satu bank, mereka harus rela menjadi pemegang saham minoritas alias tidak memiliki suara dominan dalam setiap RUPS.
BI menolak mengomentari masalah ini. Difi A Johansyah, Kepala Biro Humas BI, hanya mengatakan, aturan ini masih dalam penggodokan alias belum final.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News