Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rencana pemerintah menerapkan program jaminan pensiun dengan memberlakukan iuran sebesar 8% dinilai tidak wajar untuk memenuhi kebutuhan dasar purna bekerja. Soalnya, iuran sukarela yang dipungut dana pensiun swasta hanya sekitar 4% - 9%. Itu pun termasuk pencadangan pesangon sesuai Undang-undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan.
Iuran wajib yang sudah tinggi pada tahap awal ini akan memaksa pendiri Dana Pensiun Pemberi Kerja untuk gulung tikar. "Karena pemberi kerja bebannya bertambah. Alhasil, mereka pilih yang wajib terlebih dahulu dan meninggalkan yang sukarela. Yang sukarela tidak ada yang mengiur, namun harus terus membayar pensiunan setiap bulan. Mana bisa," ujar Suheri, Pelaksana Tugas Ketua Umum Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, kemarin.
Implikasi jangka panjangnya, lanjut dia, pekerja akan mengandalkan negara untuk jaminan sosial setelah usia bekerja berakhir. Kekhawatirannya, produktivitas para pekerja mengendur. Apalagi, selain iming-iming jaminan pensiun, para pekerja juga menanti manisnya buah dari program jaminan hari tua yang sudah berlaku wajib sejak tahun 1992.
Memang, saat ini saja, baru sekitar 15 juta orang atau 24% dari total 63 juta orang bekerja di sektor formal yang menjadi peserta program jaminan hari tua. Padahal, secara keseluruhan ada 120 juta penduduk di usia produktif. Sementara, peserta dana pensiun sukarela baru sekitar 3,6 juta (DPPK dan DPLK).
Asal tahu saja, BPJS Ketenagakerjaan akan menerapkan program keempatnya, yakni jaminan pensiun pada 1 Juli 2015 mendatang. Program ini merupakan program wajib setelah jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua yang diberlakukan lembaga sosial tersebut. Program ini menuai protes karena iuran yang dipatok dinilai terlalu tinggi, yaitu 8%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News