Reporter: Ferry Saputra | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus dugaan kesepakatan bunga pinjaman di industri pinjaman online (pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending sudah masuk tahap persidangan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Diketahui, KPPU resmi menggelar sidang perdana kasus tersebut pada 14 Agustus 2025 lalu.
Adapun perkara tersebut tertuang dalam Nomor 05/KPPU-I/2025 tentang dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Layanan Pinjam-Meminjam Uang atau Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi atau fintech lending.
Mengenai hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencermati dan menghormati jalannya proses hukum terkait dugaan kesepakatan bunga di industri fintech lending.
"OJK juga berkomitmen untuk terus menjaga integritas dan iklim persaingan usaha yang sehat dalam industri fintech lending," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman dalam lembar jawaban tertulis RDK OJK, Minggu (7/9/2025).
Baca Juga: Pendanaan Lender Luar Negeri di Fintech Lending Capai Rp 12,61 Triliun per Juli 2025
Lebih lanjut, Agusman menjelaskan pengaturan batas maksimum bunga atau manfaat ekonomi oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai bagian dari ketentuan Kode Etik (Pedoman Perilaku) sebelum terbitnya SEOJK No.19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech lending, merupakan arahan OJK pada saat itu. Selanjutnya, ditegaskan dalam Surat OJK Nomor S408/NB.213/2019 pada 22 Juli 2019.
Agusman mengatakan penetapan batasan manfaat ekonomi oleh AFPI tersebut dilakukan dalam rangka memberikan pelindungan kepada masyarakat dari suku bunga tinggi dan menjaga integritas industri.
"Selain itu, bertujuan membedakan pinjaman online legal atau fintech lending dengan yang ilegal atau pinjol," katanya.
Sebagaimana Pasal 84 POJK 40/2024, Agusman menerangkan asosiasi atau AFPI berperan membangun pengawasan berbasis disiplin pasar untuk penguatan dan/atau penyehatan penyelenggara, serta membantu mengelola pengaduan konsumen/masyarakat.
Dalam kaitan itu, Agusman menyebut, AFPI diminta untuk turut membantu menertibkan anggotanya memenuhi seluruh ketentuan yang berlaku, termasuk ketentuan yang terkait dengan batas maksimum manfaat ekonomi atau bunga pinjaman.
Selanjutnya, kata Agusman, penyesuaian batasan manfaat ekonomi atau bunga telah diatur dalam SEOJK Nomor 19/SEOJK.06/2025 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, yang diharapkan dapat mendorong akses keuangan yang sehat, berkelanjutan, dan sesuai prinsip kehati-hatian.
Di tengah adanya kasus dugaan kesepakatan bunga, Agusman mengatakan kepercayaan masyarakat terhadap industri fintech lending tetap terjaga. Dia bilang hal itu bisa dilihat dari peningkatan outstanding pendanaan fintech lending per Juli 2025 menjadi sebesar Rp 84,66 triliun. Adapun tingkat rasio kredit macet secara agregat atau TWP90 tetap terjaga di posisi 2,75% per Juli 2025.
Penjelasan KPPU
Investigator KPPU diketahui telah menguraikan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) dalam sidang perdana kasus dugaan kesepakatan bunga fintech lending. Investigator KPPU Arnold Sihombing menyampaikan terlapor dalam perkara tersebut adalah terlapor yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang berjumlah 97, tetapi saat ini diketahui memang ada 96 anggota AFPI berdasarkan website yang terakhir dicek oleh investigator.
Namun, dia bilang, 97 terlapor itu merupakan 97 pihak yang di-capture pada saat proses penyelidikan dan penyidikan dimulai pada 4 Oktober 2023 sampai 11 Maret 2025. Jadi, tercatat ada 97 anggota AFPI.
Lebih lanjut, Arnold menyampaikan pasar bersangkutan dalam perkara yang dimaksud adalah pasar produk jasa terkait layanan pinjam-meminjam uang atau pendanaan bersama berbasis teknologi informasi atau fintech peer to peer (P2P) lending yang difoto selama periode 2019 sampai Oktober 2023.
Baca Juga: OJK: 2 Fintech Lending Syariah Berencana Merger untuk Penuhi Ketentuan Permodalan
Berdasarkan peraturan OJK, Arnold mengatakan, penyelenggara fintech P2P lending wajib terdaftar sebagai anggota AFPI yang ditunjuk OJK pada 17 Januari 2019.
Dia mengatakan yang menjadi perilaku terlapor dalam perkara tersebut tertuang dalam pasal 1 angka 12 UU Nomor 5 Tahun 1999. Disebutkan perilaku terlapor adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dan kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang dan/atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang digunakan.
"Jadi, berdasarkan temuan dari proses penyidikan bahwa AFPI membuat pedoman perilaku atau code of conduct yang terlihat pada SK AFPI Nomor 002/SK/K/COC/INT/IV/2020 di mana disitu diatur juga terkait dengan bunga dan biaya lain, flat maksimum 0,8% per hari," ungkap Arnold dalam persidangan perdana.
Selain itu, Arnold bilang berdasarkan LDP ada juga temuan mengenai aturan SK AFPI Tahun 2021 Nomor 001, yang terdapat aturan mengenai bunga dan biaya lain secara flat maksimum 0,4% per hari dan diatur juga biaya keterlambatan maksimum 0,8% per hari.
Oleh karena itu, dia bilang berdasarkan code of conduct AFPI diartikan bahwa seluruh anggota AFPI menyetujui atau menyepakati ketentuan tersebut. Dengan demikian, pedoman perilaku dalam memberikan layanan jasa kepada konsumennya masing-masing itu harus dipatuhi dan diikuti oleh masing-masing anggota AFPI.
KPPU juga menyoroti bahwa AFPI membuat aturan untuk penetapan biaya bunga dan biaya lain secara flat untuk disepakati masing-masing anggotanya, terlihat biayanya yang tinggi 0,8%, jika dibandingkan Peraturan OJK (POJK) yang memang baru terbit pada 2024 itu sebesar 0,3%, lalu dikoreksi jadi 0,2% pada 2025, kemudian dikoreksi menjadi 0,1% pada 2026.
"Hal itu juga menunjukkan bahwa perilaku dari anggota AFPI dalam menetapkan bunga terlihat eksesif. Referensi yang digunakan KPPU adalah referensi OJK atau referensi harga wajar," kata Arnold.
Berdasarkan fakta yang ditemukan dalam perkara itu, Arnold menerangkan ada beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan para terlapor berlandaskan Pasal 5. Dia merinci dugaan pelanggarannya, yakni unsur pelaku usaha dalam perkara adalah para penyedia layanan fintech lending.
Baca Juga: OJK Yakin Target Pembiayaan Fintech Lending untuk Sektor Produktif dan UMKM Tercapai
Selanjutnya, unsur perjanjian penetapan harga yang merupakan kesepakatan jumlah total bunga, biaya pinjaman, dan biaya lainnya, selain biaya keterlambatan, yang tejadi pada 2020 dan diperbarui pada 2021.
Unsur dugaan pelanggaran berikutnya, yakni pelaku usaha pesaing. Dia bilang para terlapor adalah pelaku usaha yang saling bersaing dan tergabung dalam asosiasi yang sama, yakni AFPI. Oleh karena itu, unsur pelaku usaha pesaing terpenuhi. Berikutnya, ada unsur harga pasar yang merupakan kesepakatan mengenai jumlah total bunga pinjaman, biaya pinjaman, dan biaya-biaya lainnya, selain keterlambatan dalam perkara a quo.
Selain itu, ada juga dugaan pelanggaran yang mencakup unsur barang dan atau jasa. Dalam perkara tersebut, unsur barang atau jasa adalah jasa layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi atau fintech. Unsur dugaan pelanggaran lainnya, yaitu unsur konsumen atau pelanggan yang merupakan pengguna jasa layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi
Arnold mengatakan unsur dugaan pelanggaran selanjutnya adalah pasar bersangkutan yang merupakan jasa layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi di Indonesia.
Namun, dia mengungkapkan ada 1 unsur terbilang tak terpenuhi dalam Pasal 5, yakni unsur usaha patungan. Sebab, masing-masing terlapor adalah pelaku usaha mandiri yang menjalankan kegiatannya pada pasar bersangkutan, serta memasarkan jasanya untuk kepentingan usaha masing-masing dan bukan dilakukan dalam rangka khusus untuk perjanjian usaha patungan.
"Oleh karena itu, unsur-unsur usaha patungan di Pasal 5 tersebut tidak terpenuhi," ungkapnya.
Baca Juga: OJK Dukung Pembentukan Produk Asuransi Kredit Khusus Fintech P2P Lending
Arnold menjelaskan adanya dugaan pelanggaran pada unsur perjanjian yang didasarkan oleh undang-undang. Dia mengatakan bahwa perilaku terlapor dalam membuat kesepakatan pada 2020 dan diperbarui pada 2021 bukan sebagai wujud pelaksanaan undang-undang atau pelaksanaan peraturan perundangan yang berlaku.
"Bahkan, justru terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal itu peraturan OJK," tuturnya.
KPPU menyampaikan pengaturan kesepakatan harga atau bunga tidak boleh dilakukan pelaku usaha. KPPU menilai pengaturan harga harusnya dilakukan lembaga negara, regulator, atau pemerintah.
Berdasarkan uraian dugaan pelanggaran tersebut, Arnold menyampaikan bahwa tim investigator menyimpulkan telah terdapat cukup bukti terjadinya pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan terlapor (penyelenggara fintech lending yang tergabung dalam AFPI). Dia juga menyampaikan bahwa paparan dalam agenda tersebut hanya gambaran terkait substansi perkara sesuai dengan isi dalam LDP.
Terbaru, KPPU sudah melaksanakan sidang lanjutan mengenai perkara tersebut, beragendakan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian alat bukti surat dan atau dokumen pendukung Laporan Dugaan Pelanggaran. Alhasil, agenda tersebut dilakukan selama 3 hari sejak Selasa (26/8) hingga Kamis (28/8).
Selanjutnya, KPPU memberikan batas waktu selama 30 hari bagi para terlapor untuk menyatakan sanggahan atau menerima laporan dugaan pelanggaran tersebut. Waktu sidang selanjutnya akan ditentukan berdasarkan pernyataan jawaban dari para terlapor terkait laporan dugaan pelanggaran.
Baca Juga: OJK: Seluruh Fintech Lending Telah Ditetapkan Sebagai Pelapor SLIK
Selanjutnya: Dilantik Jadi Menteri P2MI, Mukhtarudin Sebut Program Asta Cita Jadi Pegangan
Menarik Dibaca: Tiket.com Luncurkan Halo Tiket, Layanan Pelanggan Cepat dan Tepat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News