kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.060   76,14   1,09%
  • KOMPAS100 1.056   15,95   1,53%
  • LQ45 830   13,44   1,65%
  • ISSI 214   1,34   0,63%
  • IDX30 424   7,62   1,83%
  • IDXHIDIV20 510   8,45   1,68%
  • IDX80 120   1,83   1,54%
  • IDXV30 125   0,72   0,58%
  • IDXQ30 141   2,32   1,67%

Kinerja Bank Digital Dibayangi Kenaikan Biaya Dana


Selasa, 22 November 2022 / 16:22 WIB
Kinerja Bank Digital Dibayangi Kenaikan Biaya Dana
ILUSTRASI. Di tengah kenaikan suku bunga acuan, persaingan bank digital akan semakin ketat dalam penghimpunan dana pihak ketiga (DPK).


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah kenaikan suku bunga acuan, persaingan bank digital akan semakin ketat dalam penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), terutama untuk dana murah. Dengan biaya dana yang kecil, maka kinerja dan profitabilitas bank digital akan lebih sustainable dibandingkan dengan bank yang jor-joran dalam memberikan bunga simpanan.

Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 5,25% seusai menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17 November 2022.

Bunga acuan BI ini merupakan yang tertinggi sejak 3 tahun lalu, tepatnya sejak September 2019. Ini merupakan kenaikan keempat kali dalam 4 bulan terakhir. Totalnya, BI-7 Day Reverse Repo Rate sudah naik 175 bps.

Baca Juga: Kinerja Mengesankan 2022, Bank Neo Commerce Tatap Tahun 2023 sebagai Tahun Profitable

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai ada potensi margin perbankan, termasuk bank digital, akan tergerus akibat kenaikan suku bunga acuan. Hal ini disebabkan biaya dana (cost of fund) akan meningkat seiring kenaikan bunga deposito dan tabungan berbunga tinggi. 

“Margin bank digital bisa tergerus kalau mereka terus melakukan promo bunga tinggi dan perang suku bunga,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (22/11).

Ia menambahkan, dalam kondisi saat ini bank tidak bisa menaikkan bunga kredit terlalu tinggi karena dapat berdampak permintaan kredit menurun. Selain itu, kenaikan bunga kredit juga mendorong peningkatan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL).

Kalau suku bunga kredit terlalu tinggi, lanjutnya, pertumbuhan kredit dikhawatirkan akan lebih rendah atau justru risiko kredit macetnya akan meningkat.

Bank yang memiliki biaya dana yang rendah akan lebih siap menghadapi tren kenaikkan suku bunga. Bank tersebut lebih fokus pada fitur dan layanan sehingga bisa menghimpun tabungan dan giro (current account saving account/CASA) yang tinggi.

Menurutnya, daripada bank digital bersaing di special rate lebih baik mereka bersaing di fitur dan layanan yang menjadi pembeda dengan bank konvensional.

Per September 2022, terlihat sejumlah bank digital masih mengandalkan deposito dalam menghimpun deposito. Salah satunya adalah PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI). Total DPK bank ini mencapai Rp 4,07 triliun. Sebanyak 93% merupakan deposito atau Rp 3,79 triliun. 

Berdasarkan situs Allo Bank, bunga deposito yang diberikan hingga 6%. Ini merupakan bunga tertinggi ini diberikan untuk deposito minimal Rp 1 miliar dan jangka waktu 3 bulan. Sebagai informasi, DPK Allo Bank pada akhir triwulan III-2022 mencapai Rp 4,07 triliun, naik sekitar 85% secara tahunan.

PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) juga memiliki struktur DPK yang didominasi oleh deposito. Portofolio deposito mencapai Rp 9,27 triliun pada akhir September 2022, dan memiliki porsi 73% dari total DPK yang tercatat Rp 12,67 triliun.

Baca Juga: Perbankan Raup Kontribusi Pendapatan dari Agen Laku Pandai

Bila dibandingkan kuartal III-2021, struktur dana Bank Neo Commerce tak jauh berubah. Pada triwulan III-2021, DPK yang dikelola mencapai Rp 6,67 triliun dengan portofolio deposito mencapai hampir 75%. Padahal bunga tabungan Bank Neo Commerce tergolong tinggi, yakni mencapai 6%, sementara bunga deposito beragam mulai dari 6,5% sampai 8%.

Berbeda dengan Allo Bank dan Bank Neo Commerce, PT Bank Seabank Indonesia memiliki komposisi CASA yang sudah mendominasi DPK. CASA Seabank pada akhir triwulan III-2019 mencapai Rp12,03 triliun, dan memiliki porsi sekitar 61% dari total DPK yang tercatat Rp19,75 triliun.

Namun, berdasarkan informasi dari situs resmi Seabank, bunga tabungan yang diberikan sebenarnya tidak murah dan bahkan setara dengan bunga deposito tertinggi Allo Bank. 

Anak usaha Sea Limited asal Singapura ini, memberikan bunga tabungan sebesar 6% dan bunga deposito sebesar 7%. Bunga tinggi tersebut diberikan untuk deposito minimal Rp1 juta dan tenor 1 bulan.

Terakhir adalah PT Bank Jago Tbk. Bank ini dikenal tidak mau ikut-ikutan dalam perang bunga dengan bank digital lainnya. DPK yang dihimpun Bank Jago hingga akhir triwulan III-2022 mencapai Rp7,28 triliun, naik 186% secara tahunan. Dari total DPK tersebut, CASA yang dikelola mencapai Rp5,14 triliun dan memiliki porsi 71%.

Padahal bunga simpanan yang diberikan relatif rendah dibandingkan bank digital lain, yakni 0,5% sampai 3,75% untuk tabungan dan 4,25% untuk deposito. Bahkan unit usaha syariah dari Bank Jago menggunakan akad wadiah untuk produk simpanan dan tidak memberikan margin.

Bank Jago mengandalkan strategi kolaborasi dengan ekosistem untuk mengakuisisi nasabah DPK. Pembukaan rekening Bank Jago, bisa dilakukan melalui aplikasi Gojek maupun aplikasi mitra lainnya.

Baca Juga: DPK Minimal Naik 8% di Tahun 2023

Bhima mengatakan sebagai perusahaan yang sedang bertumbuh, bank digital berpeluang untuk memperbaiki struktur dana sehingga biaya dana menjadi lebih murah. Namun, dia mengakui hal itu bukanlah hal mudah karena bank tersebut harus bisa memberikan benefit dan keunggulan lain di luar bunga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×