Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren penurunan harga saham-saham perbankan semakin tak terbendung. Layunya harga saham bank ini sejalan dengan kinerja fundamental dari industri perbankan yang terlihat mulai lesu.
Pada penutupan perdagangan bursa, Selasa (12/6), mayoritas saham-saham perbankan kembali kompak memerah. Tak terkecuali, hal tersebut juga terjadi pada saham-saham bank berkapitalisasi besar atau big caps.
Di kalangan bank big caps, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) tercatat terkoreksi paling dalam sekitar 2,82% menjadi Rp 4.480 per saham. Menyusul, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang mengalami koreksi sekitar 2,39% menjadi Rp 6.125 per saham.
Baca Juga: Masih Tertekan, Laba Emiten Perbankan di Kuartal II-2024 Diproyeksi Tumbuh Mini
Tak ketinggalan, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turut memerah sekitar 2,36% menjadi Rp 9.300 per saham. Terakhir, ada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang mengalami koreksi paling kecil sekitar 1,36% menjadi Rp 4.340 per saham.
Sejalan dengan pergerakan saham yang turun tersebut, kinerja industri perbankan memang sedang tidak baik-baik saja. Terlebih kondisi kualitas kredit yang kembali memburuk pada April 2024 yang menjadi 2.33%, bulan sebelumnya di level 2,25%.
Tak hanya itu, margin bunga bersih atau Net Interest Margin (NIM) perbankan juga mulai tampak menurun. Pada periode April 2024, NIM perbankan berada di level 4,56%. Sebagai perbandingan, pada Maret 2024, NIM perbankan di level 4,59% dan pada periode Desember 2023 di level 4,81%.
Dari sisi fungsi intermediasi sendiri, kinerja kredit perbankan sejatinya masih tumbuh dobel digit jika dilihat secara tahunan. Namun dari bulan ke bulan (mtm), pertumbuhan kredit hanya sekitar 0,91%, di mana bulan sebelumnya masih tumbuh 2,12% mtm.
Baca Juga: KPR Macet Naik 14% Jadi Rp 14,87 Triliun di Kuartal I-2024, Tapera Bakal Tambah Beban
Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan mengungkapkan bahwa kinerja perbankan di kuartal dua memiliki tantangan yang lebih besar. Alasannya, pertumbuhan bisnis riil pun relatif tidak tumbuh.
“Bank-bank besar berkompetisi di potensi pertumbuhan yang itu-itu saja sehingga yield loan relatif flat dalam sikon biaya dana yang tetap tinggi,” ujar Lani.
Sejalan dengan itu, Lani juga melihat dunia usaha kemungkinan masih menunggu bunga pinjaman turun. Alhasil, investasi yang dilakukan oleh korporasi belum optimal sehingga membuat kredit pun tampak lesu.
Di sisi lain, ia menyebutkan saat ini perbankan memang sedang fokus mengatur kualitas kredit yang dimiliki. Dengan demikian, perbankan pun jadi lebih selektif dalam menyalurkan kredit dan nasabah pun lebih sensitif dengan kondisi bunga.
“Di situasi seperti ini rasanya sulit diprediksi untuk industri perbankan hingga akhir tahun ini,” tambahnya.
Pengamat Ekonomi Perbankan Binus University, Doddy Arifianto pun menambahkan bahwa saat ini kinerja perbankan akan mendapat dampak dari dicabutnya kebijakan restrukturisasi Covid-19. Menurutnya, hal tersebut menjadi wajar jika NPL perbankan terlihat mulai naik.
Baca Juga: Saham-Saham The Big Four Bank Dalam Tren Bearish
Namun, ia melihat hal tersebut tak akan banyak berpengaruh pada kinerja perbankan setidaknya hingga akhir tahun. Menurutnya, kenaikan NPL akan mencapai puncaknya paling lambat enam bulan setelah kebijakan itu dicabut pada 31 Maret 2024 yang lalu.
“Dari sisi permodalan atau CAR sebenarnya juga masih besar di 25,99%, bank bisa absorb modal jika memang NPL nya naik,” ujar Doddy.
Sementara itu, Vice President PT Infovesta Utama Wawan Hendrayana bilang prospek perbankan masih akan tetap baik walau dihantam kondisi penurunan suku bunga acuan yang tak kunjung terjadi. Hal tersebut dikarenakan proyeksi pertumbuhan ekonomi masih diproyeksikan di kisaran 5%.
Tak hanya itu, Wawan berpendapat industri perbankan akan diuntungkan dengan adanya transisi pemerintah dan pemilihan kepala daerah pada semester II mendatang. Di mana, aktivitas tersebut diharapkan memicu perputaran uang.
“Walaupun mungkin NIM tidak setinggi tahun lalu namun pertumbuhan kredit masih diproyeksinya dobel digit,” ujar Wawan.
Baca Juga: Investor Asing Banyak di Industri Perbankan Tanah Air, Siapa Paling Cuan?
Lebih lanjut, Wawan sendiri melihat saat ini emiten bank yang layak dicermati adalah BBCA dan BMRI. Bukan tanpa alasan, dua bank tersebut tercatat masih mengalami pertumbuhan kredit yang tinggi dalam kinerja keuangan terakhir di kuartal I-2024.
“Di akhir tahun nanti target BBCA ke Rp 10 200 dan BMRI ke 7.000,” tambah.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus membenarkan bahwa kinerja perbankan saat ini sedang menghadapi tekanan. Menurutnya, saat ini investor lebih memilih menunggu laporan kinerja emiten-emiten bank ini di kuartal II-2024.
Ia pun bilang saat ini ekpetasi pasar atas kinerja emiten perbankan juga tidak terlalu tinggi. Meskipun, ia optimistis perbankan masih bisa tumbuh lebih baik jika dibandingkan dengan masa-masa Covid-19 pada beberapa tahun lalu.
“Kita tinggal melihat seberapa jauh NIM yang mengalami penurunan dan seberapa jauh NPL yang mengalami kenaikan.,” ujar Nico.
Oleh karenanya, Nico pun masih enggan menyebutkan saat ini saham bank mana yang latyak dicermati. Sebab, ia tak menutup kemungkinan ada revisi target harga saham-saham bank setelah paparan kinerja keuangan di kuartal II-2024 nantinya.
Baca Juga: BEI Soroti Volatilitas Transaksi Saham Bank Bumi Arta (BNBA), Manajemen Buka Suara
Dalam riset terbarunya (10/6), BRI Danareksa Sekuritas pun lebih merekomendasikan BBCA dan NISP untuk saham perbankan yang memiliki peringkat tertinggi dalam empat bulan pertama 2024. Di mana, NIM dua bank tersebut tercatat lebih tangguh dari tekanan biaya dana yang lebih rendah.
Meski demikian, analis BRI Danareksa Sekuritas melihat biaya dana perbankan memang masih menjadi masalah perbankan saat ini. Di mana, BBRI dan BDMN menjadi yang paling tinggi dalam peningkatan biaya dana masing-masing 97 basis poin dan 109 basis poin.
“Kami melihat tekanan terhadap biaya dana akan terus berlanjut pada bulan Mei 2024 karena BI menaikkan suku bunga acuannya pada akhir April yang lalu,” tulis analis BRI Danareksa Sekuritas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News