Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Kisruh produk terstruktur (structured product) di perbankan makin ruwet. Lagi-lagi, seorang investor, sebut saja Ali, mengadukan nasibnya yang malang ke redaksi KONTAN.
Pengusaha asal Sumatera Utara kesal karena tiba-tiba perusahaannya mendapat tagihan valas bernilai jutaan dolar dari sebuah bank. Ia diberi tahu, tagihan itu akibat perusahaannya kalah dalam transaksi produk terstruktur.
Padahal, Ali mengklaim, tak pernah meneken produk terstruktur berjenis callable forward tersebut. Ternyata, karyawanlah yang menyetujui kontrak itu. "Jadi, karyawan yang berbuat, perusahaan yang kena," keluh Ali.
Kisah Ali memang terasa janggal. Tapi, Pemimpin Cabang Bank Indonesia (BI) Medan Romeo Rizal Pandjialam mendukung cerita itu. Menurut Romeo, banyak eksportir produk perkebunan di Medan meneken kontrak yang memberi wewenang kepada bank untuk bermain derivatif valas demi keperluan lindung nilai. Biasanya, produk yang dimainkan adalah forward. Tapi, dalam kontrak berbahasa Inggris tersebut disebutkan, bank bisa mengalihkan ke produk derivatif lainnya.
Tentu saja, bank harus lebih dulu meminta izin dari perusahaan bersangkutan. Celakanya, dalam kontrak itu juga disebutkan, bank dapat menerima instruksi dari seseorang yang berkompeten di perusahaan atau yang diyakini berkompeten, tanpa memiliki kewajiban memverifikasi atau meminta konfirmasi. Bank pun cukup meminta izin lewat telepon. Dari sinilah, kisruh itu terjadi.
Ujungnya, perusahaan menanggung rugi besar. Romeo mengaku, telah menerima laporan kerugian US$ 183 juta.
Menurut Ali, bank mengancam memasukkan tagihan tadi sebagai utang perusahaan. "Padahal, kami kan tidak pernah dapat kredit dari bank tersebut," beber Ali.
Lebih celaka lagi, kredit itu dimasukkan dalam kategori 5 alias kredit macet. "Rating ini merusak reputasi kita. Celaka kita," jerit Ali.
Sayang, hingga berita ini diturunkan, KONTAN belum berhasil mengonfirmasi bank yang dituding oleh Ali.
Hanya saja, PT Bank CIMB Niaga Tbk yang memiliki produk sejenis membantah ada praktik seperti itu. "Itu tidak masuk dalam kategori kredit macet," kilah D. James Rompas, Direktur CIMB Niaga.
James menambahkan, Bank CIMB Niaga sudah tidak lagi menjual produk terstruktur semacam itu. Pun begitu, kontrak lama yang belum selesai tetap dilanjutkan. "Karena aturan dari BI tersebut tidak berlaku surut," dalih James.
Sementara itu, PT Bank Danamon Tbk mengaku tengah merestrukturisasi kontrak-kontrak produk terstruktur kasus demi kasus. "Karena, tiap nasabah mempunyai karakteristiknya masing-masing," kata Jos Luhukay, Wakil Direktur Utama Danamon.
Tapi, Ali tetap merasa dirugikan. Sebab, nilai tukar rupiah terus melemah dari harga strike price. Itu berarti, ia jadi pihak yang kalah dan harus membayar nilai kerugian itu ke bank tiap minggu. "Uangnya sudah habis," kata dia.
Ali berharap, BI segera bertindak menghentikan kontrak-kontrak lama tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News