kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kredit jatuh tempo BUMN jadi sorotan, begini kata analis


Kamis, 07 Mei 2020 / 17:22 WIB
Kredit jatuh tempo BUMN jadi sorotan, begini kata analis
ILUSTRASI. Hingga 24 April 2020 restrukturisasi kredit perbankan menembus Rp 207,2 triliun dari debitur UMKM dan non UMKM.


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi ekonomi memang rentan menurun di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Untuk lebih meminimalisir, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah membentuk kluster utang di berbagai perusahaan. Ada tiga kluster yang dibentuk oleh OJK berdasarkan jenis debitur, yaitu kluster usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), BUMN dan perusahaan swasta.

Nah, yang menjadi sorotan saat ini tentunya adalah kredit BUMN lantaran ada banyak yang bakal jatuh tempo. Melihat menurunnya kemampuan perusahaan mencetak pendapatan, tidak menutup kemungkinan kredit yang nilainya triliunan tersebut terpaksa harus direstrukturisasi.

Menurut laporan keuangan beberapa emiten BUMN yang dirangkum oleh Kontan.co.id, ada sekitar 19 utang perusahaan yang jatuh tempo tahun 2020. Terbesar misalnya utang jatuh tempo PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) senilai Rp 53,88 triliun. Kemudian, ada juga utang perusahaan BUMN yang menjadi sorotan seperti PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) senilai US$ 3,26 miliar. Selain itu, ada banyak lainnya perusahaan BUMN di sektor konstruksi dan manufaktur yang punya utang jatuh tempo bernilai jumbo yang mesti dibayarkan tahun ini.

Baca Juga: Gubernur BI yakin program pemulihan ekonomi nasional bisa ungkit ekonomi Indonesia

Sementara itu, menurut OJK saat ini nilai kredit yang direstrukturisasi oleh perbankan pun terus meningkat. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menuturkan sekarang sudah ada 74 perbankan yang telah melakukan restrukturisasi. Tercatat hingga 24 April 2020 restrukturisasi kredit perbankan sudah menembus Rp 207,2 triliun yang berasal dari debitur UMKM dan non UMKM.

Adapun jumlah debitur yang melakukan restrukturisasi itu mencapai 1,02 juta. Restrukturisasi UMKM telah mencapai Rp 99,3 triliun dengan jumlah debitur 819.923 dan non UMKM mencapai Rp 107,85 triliun dari 199.411 debitur.

Sejatinya, menurut kacamata OJK proses restrukturisasi kredit perbankan saat ini masih berjalan dan akan dinamis. "Dengan cara ini kita akan dapatkan informasi yang akurat kira-kira seberapa besar yang potensi nanti yang restrukturisasi ini nanti memerlukan pinjaman likuiditas," kata Wimboh dalam rapat live streaming bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (6/5).

Baca Juga: Subsidi bunga kredit menguntungkan pengembang properti

Selain dari jumlah yang sudah diberikan keringanan atau restrukturisasi, ternyata jumlah kredit yang berpotensi direstrukturisasi justru lebih besar. Total debet kreditnya kata OJK mencapai Rp 1.112,59 triliun yang terdiri dari kredit UMKM Rp 405,32 triliun dan non UMKM Rp 707,26 triliun. Memakai asumsi ini, artinya realisasi restrukturisasi perbankan yang berproses saat ini masih sekitar 18,62% dari nilai potensialnya.

Wimboh mengatakan, pada dasarnya semua kredit bisa direstrukturisasi. Namun, kredit yang dapat direstrukturisasi dengan cepat yakni segmen UMKM. Skema restrukturisasi yang dilakukan bisa kombinasi antara penundaan pembayaran baik pokok maupun bunga, serta melalui pemangkasan suku bunga kredit.

Baca Juga: Utang kartu kredit terus menumpuk? Segera lunasi dengan cara ini

Sementara itu, Kepala Riset PT Samuel Sekuritas Suria Dharma memandang saat ini kesiapan perbankan dalam menghadapi era seperti sekarang sudah cukup kuat. Apalagi dengan diwajibkannya penambahan pencadangan lewat penerapan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71. Artinya, dari segi pencadangan kredit atau CKPN menurutnya bank-bank besar sudah memadai.

Apalagi, OJK memang sudah memberikan pelonggaran dari sisi pencadangan bagi debitur yang direstrukturisasi oleh perbankan. Singkatnya, debitur perbankan yang kreditnya direstrukturisasi sesuai POJK Nomor 11/POJK.03.2020 tentang stimulus Covid-19 status kreditnya boleh ditetapkan lancar alias kolektibilitas 1 (kol 1). Walaupun sejatinya, seluruh kredit yang direstrukturisasi masuk ke kol 2.

Tapi di luar itu, Suria memandang kondisi sekarang juga punya dampak buruk bagi pendapatan perbankan. "Mereka (bank) tidak dapat bunga kredit, bahkan ada yang kreditnya direstrukturisasi sampai setahun. Pendapatannya sudah pasti turun sementara beban tentunya terus naik," katanya kepada Kontan.co.id, Kamis (7/5).

Baca Juga: Bank BUMN akan ditunjuk jadi bank perantara, channeling pinjaman likuiditas

Menurut Suria, beberapa bank sebenarnya sudah meminta keringanan tambahan dari pemerintah berupa subsidi bunga kredit. Hal ini sudah terjawab untuk segmen kredit UMKM, OJK memang sudah memberikan subsidi keringanan bunga sebesar 6% untuk debitur kategori layak dengan pinjaman kurang dari Rp 500 juta untuk 3 bulan pertama.

Sementara bagi debitur dengan pinjaman Rp 500 juta hingga 10 miliar bisa mendapat subsidi 3 bulan pertama 3% dan 3 bulan kedua 2%. Nah untuk kredit konsumer, pemerintah juga sudah memberikan subsidi bunga untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB).

Baca Juga: Restrukturisasi kredit UMKM, bank butuh bantuan likuiditas Rp 83,9 triliun

Tapi, untuk kredit perusahaan besar seperti BUMN tentu belum ada keringanan berupa subsidi bunga dari pemerintah. "Intinya, bank pasti ingin pemerintah membantu juga, karena bank tidak dapat bunga, dengan sendirinya profit pasti akan drop," kata Suria. Misalnya, Suria mencontohkan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang menurutnya punya kredit sebesar 20% dari total kredit yang berpotensi direstrukturisasi.

Sejatinya, pemerintah dalam hal ini akan fokus lebih dulu menjaga kualitas BUMN. Kebijakan kluster kredit ini bisa menjadi langkah OJK untuk memilah jenis-jenis kredit yang harus diprioritaskan diberikan keringanan di tengah pandemi ini.

Baca Juga: Restrukturisasi kredit lembaga keuangan non bank sudah mencapai Rp 28,13 triliun

Apalagi, menurut Suria seluruh sektor korporasi BUMN terdampak. Semisal sektor konstruksi, yang tidak mendapatkan pembayaran pemerintah lantaran adanya penundaan pengerjaan proyek infrastruktur.

Kemudian ada juga Garuda Indonesia yang kinerjanya dipastikan menurun di tengah kebijakan pembatasan wilayah. "Kalau perusahaan BUMN ini tidak dilakukan penanganan, yang jelas kemampuan untuk bayar bunga jatuh tempo pasti menurun," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×