kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Likuiditas mengetat, BUKU I kalah saing berebut DPK dengan bank besar


Selasa, 23 Oktober 2018 / 20:47 WIB
Likuiditas mengetat, BUKU I kalah saing berebut DPK dengan bank besar
ILUSTRASI. Petugas Menghitung Uang Rupiah Dengan Mesin Penghitung Uang


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membenarkan adanya pengetatan likuiditas perbankan saat ini. Hal ini antara lain disebabkan lebih tingginya pertumbuhan kredit dibandingkan peningkatan dana pihak ketiga (DPK) perbankan secara industri.

Benar saja, merujuk data OJK per Agustus 2018 lalu total pertumbuhan kredit mencapai 12,12% secara tahunan atau year on year (yoy). Nah, dari pertumbuhan kredit yang menanjak ke dua digit itu, peningkatan DPK perbankan baru tumbuh 6,88% yoy di bulan yang sama. Alhasil, posisi loan to deposito ratio (LDR) perbankan sudah menyentuh ke level 93% di bulan Agustus 2018.

Perbankan pun harus lebih pintar dalam mengelola likuiditas, lantaran posisi LDR sudah memasuki batasan ketat menurut regulator yakni di kisaran 93%-102%.

Slamet Edy Purnomo, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK mengatakan bila dilihat secara rinci kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) I pertumbuhan DPKnya paling tipis. Alias tidak sejalan dengan peningkatan kreditnya. Catatan OJK menunjukan kategori BUKU I atau bank dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun membukukan kenaikan kredit 8,4% secara yoy. Sementara DPK susut sebesar 1,84% secara tahunan di Agustus 2018.

"BUKU I kredit naik, DPK turun secara yoy. Pendanaannya mau dari mana? mau tidak mau dari secondary reserve," katanya di Jakarta, Selasa (23/10).

Menyusutnya peningkatan DPK di bank kecil menurut Edy dikarenakan dana-dana masyarakat sudah banyak terserap oleh bank-bank besar di BUKU III terutama BUKU IV. Alhasil, bank kecil kewalahan untuk menjaring dananya.

Memang, di tengah likuiditas yang mengetat, perbankan cenderung berlomba-lomba untuk menjaring dana nasabah agar dapat tetap mendorong pembiayaan. "DPK di bank kecil lebih lambat, karena ada persaingan perebutan dana, jadinya semakin lama akan semakin ketat," katanya.

Sementara kondisi DPK di pasar memang sedang melambat dikarenakan adanya alternatif penempatan dana oleh nasabah. Misalnya, Obligasi Ritel Indonesia (ORI) 15 yang menawarkan bunga tinggi mencapai 8,25%. Praktis hal tersebut lebih menarik bagi masyarakat, terutama yang biasa menempatkan dananya di deposito.

Belum lagi, tantangan bank kecil bukan hanya sesama bank saja. Melainkan munculnya perusahaan teknologi finansial alias financial technology (Fintech) yang menawarkan produk serupa dengan bank.

Makanya, OJK tengah mendorong agar bank kecil dapat segera melakukan penguatan modal atau konsolidasi. "Ke depan harus ada konsolidasi, bukan merger tapi sifatnya sudah beda karena sekarang sudah ada fintech," sambungnya.

Sebagai tambahan informasi, data OJK menunjukan BUKU II mencatatkan kenaikan kredit sebesar 9,55% yoy sementara DPK tumbuh 4,69%. Sementara BUKU III dan BUKU IV masing-masing kreditnya tumbuh 12,21% dan 12,79% yoy per Agustus 2018. Adapun DPK BUKU III dan BUKU IV naik 3,84% dan 9,69% yoy.

"Pertumbuhan kredit tidak didukung dengan pertumbuhan DPK yang cenderung tumbuh lambat, khususnya di bank BUKU III dan BUKU IV sehingga terjadi kecenderungan perebutan DPK ditambah dampak kenaikan bunga," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×