Reporter: Bernadette Christina Munthe |
JAKARTA. Kasus Bank Century memberikan pelajaran berharga tentang lemahnya pengawasan terhadap industri perbankan. Praktik di masa lalu di mana data tentang kondisi bank hanya menjadi urusan Bank Indonesia (BI), terbukti keliru. Pengawasan dan pemahaman tentang kondisi perbankan ternyata harus melibatkan institusi lain.
Belajar dari kesalahan tersebut, BI menyempurnakan sistem pengawasan. Upaya itu dimulai dengan menelurkan beberapa kebijakan dan membuat kesepahaman dengan instansi lain dalam bertukar informasi soal bank.
Yang paling baru, BI menerbitkan Peraturan BI (PB) No. 13/3/PBI/2011 tentang penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank. PBI ini menyebutkan, BI wajib melaporkan bank di bawah pengawasan khusus dan bank berdampak sistemik ke LPS.
Pada beleid lama, pengaturan ini belum jelas. Bisa dibilang, LPS baru mendapatkan data lengkap ketika kondisi bank sudah sakit keras alias mendekati ajal.
BI juga menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan LPS, Rabu (26/1) malam. Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani menerangkan, ini ke lanjutan Surat Keputusan Bersama (SKB) koordinasi dan pertukaran data untuk mendukung tugas BI dan LPS, tiga bulan silam. “BI akan memberikan informasi pengawasan kesehatan bank per tiga bulan. Sebelumnya, informasi ini diberikan per enam bulan," katanya.
Heru Budiargo, Ketua Dewan Komisioner LPS, menjelaskan, lahirnya PBI dan MoU bukti kesungguhan semua pemangku kepentingan dalam memperkuat pengawasan perbankan. “Ini sudah sangat maju. Kami bisa berperan lebih aktif, sehingga fungsi penjaminan yang kami emban bisa optimal,” katanya.
Heru mengatakan, pihaknya membutuhkan data-data agar lebih mengenal “medan”. Jadi, ketika terjadi krisis atau ada bank yang bermasalah, LPS membuat keputusan yang benar dengan mengacu pada data yang akurat.
Masih terlalu umum
Meski sudah jauh lebih baik, MoU dan PBI ini masih menyimpan beberapa kekurangan yang perlu disempurnakan lagi. “Masih terlalu umum. Ada baiknya, kewenangan dan data apa saja yang kami bisa dapatkan, bisa lebih diperinci lagi,” ujar Heru.
Menurut Heru, setidaknya LPS perlu mengakses tiga data. Pertama, hasil pemeriksaan BI terhadap bank, terutama ketika bank mulai masuk pengawasan intensif. Data ini penting agar LPS tahu mengenai riwayat tata kelola bank.
Kedua, data korespondensi antara pengawas BI dengan bank yang diawasi. Ketiga, hasil exit meeting. Forum ini membahas hasil audit atas pemeriksaan BI. Dari ketiga data itu LPS akan mengetahui apa yang sedang terjadi dan mengapa itu terjadi. "Lalu sejak kapan terjadi dan apa saja yang sudah dilakukan oleh bank maupun BI,” katanya.
Jadi, ketika memutuskan menyelamatkan atau melikuidasi sebuah bank, LPS sangat paham detail bank tersebut. Ujungnya, keputusan LPS akan lebih kredibel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News