Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dana Pensiun PT Bank Central Asia Tbk. (Dapen BCA) mencatatkan total aset sebesar Rp 5,96 triliun per April 2025. Capaian ini meningkat 2,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Meski mencatatkan pertumbuhan, Direktur Utama Dapen BCA, Budi Sutrisno mengatakan tetap waspada terhadap risiko ekonomi riil, terutama meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor.
Menurutnya, kondisi ketenagakerjaan yang tertekan bisa menimbulkan risiko terhadap keberlanjutan dana pensiun, khususnya yang mengelola Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP).
“Meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor, meskipun dampaknya tidak bersifat langsung terhadap seluruh aspek pengelolaan dana pensiun, tetap menimbulkan risiko yang perlu dikelola dengan hati-hati,” kata Budi kepada Kontan, Jumat (13/6).
Baca Juga: Bos Dapen BCA Ungkap Kelebihan dan Risiko Investasi di ETF Emas
Ia menjelaskan, PHK bisa mengurangi jumlah peserta aktif dan memperlambat arus masuk iuran. Dalam skema Dapen Pemberi Kerja seperti Dapen BCA, arus iuran merupakan komponen penting untuk menjaga pertumbuhan dan kesinambungan aset jangka panjang.
“Penurunan iuran menjadi variabel penting dalam menjaga kesinambungan aset jangka panjang,” ujarnya.
Tak hanya itu, meningkatnya angka PHK juga berpotensi mendorong peserta untuk mencairkan manfaat pensiun sebelum usia pensiun. Bila pencairan dini terjadi secara masif, hal tersebut dapat menimbulkan tekanan likuiditas yang signifikan bagi pengelola dana pensiun.
Baca Juga: Dapen BCA Optimistis Kinerja Investasi Tumbuh Positif Usai Penurunan BI Rate
“Strategi pengelolaan kami tidak hanya berfokus pada optimalisasi imbal hasil, tetapi juga pada manajemen risiko dan likuiditas yang adaptif terhadap perubahan struktur peserta,” ujar Budi.
Meski menghadapi tantangan dari sisi ekonomi makro dan ketenagakerjaan, Dapen BCA tetap menjalankan strategi investasi yang konservatif dan seimbang. Portofolio investasi masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN), obligasi korporasi, serta instrumen pasar uang yang relatif stabil.
“Volatilitas di pasar obligasi dan ekuitas cukup berpengaruh dalam beberapa bulan terakhir, tetapi kami tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian,” kata Budi.
Selanjutnya: Keran Ekspor Listrik ke Singapura Dibuka, Kementerian ESDM Siapkan Revisi Aturan
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Vitamin C untuk Rambut, Cegah Uban hingga Rambut Rontok!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News