Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) belum kehilangan pesonanya. Meski imbal hasilnya sudah mulai turun, kepemilikan bank di intrumen yang baru berumur satu tahun ini tetap terus menanjak.
Sebagai gambaran, berdasarkan hasil lelang SRBI terbaru di 8 November 2024, bunga instrumen tersebut untuk tenor 12 bulan sebesar 7,04%. Ini sudah di bawah hasil lelang SRBI yang dilakukan pada Mei 2024 dengan imbal hasil yang mencapai kisaran 7,5%.
Di sisi lain, jumlah kepemilikan SRBI justru semakin mendaki, terutama dari sisi perbankan. Per Oktober 2024, kepemilikan bank di SRBI mendominasi sekitar 61% dengan nilai Rp 586,3 triliun. Ini menjadi porsi kepemilikan tertinggi selama tiga bulan terakhir dari yang sebelumnya sudah mulai berkurang.
Mirisnya, hal ini terjadi ketika rasio likuiditas bank berdasarkan DPK dibandingkan kredit yang mulai mengetat. Ini tercemin dari rasio loan to deposit ratio yang per September 2024 sebesar 86,91% atau naik 299 basis poin secara tahunan.
Baca Juga: Investasi SRBI di Dana Pensiun Terus Tumbuh Berkat Tawaran Suku Bunga yang Kompetitif
Ekonom Indo Premier Sekuritas Luthfi Ridho membenarkan bahwa adanya SRBI justru semakin memperketat likuiditas. Di mana, ia menilai instrumen SRBI tidak perlu menyerap likuiditas sebanyak itu jika hanya untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Ditambah, ini menjadikan perbankan juga pada akhirnya lebih memilih untuk memarkir likuiditas yang dimiliki di instrumen SRBI. Mengingat, risikonya dinilai juga lebih aman ketimbang menyalurkan kredit di kondisi ekonomi saat ini.
“Harusnya bankir tetap rajin mencari debitur yang bagus untuk diberikan kredit dan pada akhirnya memiliki multiplier effect, saya kira di situ perlu ada policy mix,” ujar Luthfi dalam acara Indonesia Investment Education, Sabtu (9/11).
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Jadi Kunci Menjaga Volatilitas Nilai Tukar Rupiah
Sependapat, Analis Pefindo Danan Dito bilang efek SRBI memang masih cukup terasa, meskipun bunga yang diberikan sudah mulai menurun. Terkhusus, bagi penyerapan obligasi korporasi oleh perbankan yang kian turun
Berdasarkan data Pefindo, per Oktober 2024, penyerapan obligasi korporasi perbankan hanya senilai Rp 107,04 triliun. Capaian tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan posisi Januari 2024 yang senilai Rp 109,94 triliun.
“Efek bunga SRBI berpengaruh juga bagi investor dari perbankan dan manajer investasi, ditambah bersaing juga dengan deposito bank,” ujar Dito, Senin (11/11).
Baca Juga: Obligasi Bersaing Ketat dengan SRBI
Muhammad Iqbal, Direktur SME & Retail Funding PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) berpandangan meski sudah turun sejak awal penerbitan, imbal hasil SRBI masih tetap lebih menarik dibandingkan instrumen BI lainnya dan instrumen lainnya seperti SBN dan SPN.
Di sisi lain, ada juga penerapan Bank Primary Dealer yang juga memiliki kewajiban untuk mengikuti lelang SRBI. Dilanjutkan dengan melakukan penjualan di pasar sekunder khususnya kepada Bank Non Primary Dealer.
“Dengan tetap memperhatikan kondisi likuiditas dan likuiditas BTN tetap terjaga dengan baik,” ujar Iqbal.
Sebagai informasi, penempatan dana BTN di surat berharga per Agustus 2024 senilai Rp 57,56 triliun. Sebagai perbandingan, pada periode sama tahun lalu, di pos yang sama, BTN mencatat ada dana senilai Rp 43,32 triliun.
Baca Juga: Bunga SRBI Naik, Pasar SBN Tetap Menarik
Sementara itu, EVP Corporate and Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Hera F Haryn menekankan penempatan dana pada surat berharga merupakan bagian dari strategi pengelolaan likuiditas perusahaan.
Hera mencatat per September 2024, total dana yang ditempatkan BCA secara bank only pada instrumen surat berharga mencapai Rp 397 triliun. Ia bilang komposisi terbesar penempatan BCA pada surat berharga ada pada obligasi pemerintah.
“Penempatan dana pada SRBI dilakukan BCA untuk mendukung perekonomian nasional,” ujar Hera.
Lebih lanjut, ia memastikan BCA tetap mengelola likuiditas secara pruden serta mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dalam penerapan manajemen risiko. Ditopang likuiditas yang solid, pihaknya optimistis bisa menjaga pertumbuhan kredit berkualitas secara berkelanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News