Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah melambatnya penyaluran kredit sepanjang 2025, perbankan nyatanya belum berpaling dari instrumen seperti Surat Berharga Negara (SBN) maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Pasalnya, kepemilikan bank di dua instrumen tersebut semakin mendominasi meskipun imbal hasil yang diberikan telah susut.
Seperti diketahui, imbal hasil SBN sudah banyak susut sejak awal tahun. Ambil contoh, bunga SBN untuk tenor 2 dan 10 tahun di kisaran 6% hingga 7% di Januari 2025. Angka tersebut telah banyak susut per Agustus 2025 sudah di kisaran 5% dan 6%.
Sementara itu, kepemilikan bank di SBN di akhir 2024 senilai Rp 1.190 triliun atau setara dengan 19,29% dari total SBN. Kepemilikannya pun naik hingga per 3 September 2025 senilai Rp 1.323 triliun atau setara 20,66% dari total SBN.
Baca Juga: Penggunaan Layanan BI-Fast Perbankan Kian Semarak, Transaksinya Terus Melonjak
Hal serupa juga terjadi di instrumen SRBI. Pada Januari 2025, suku bunga instrumen buatan Bank Indonesia (BI) ini masih di kisaran 7%. Lebih lanjut, di Agustus 2025, bunganya telah susut di kisaran 5%.
Jika menilik pada kepemilikan bank di SRBI, memang terlihat ada penurunan sejak akhir 2024 senilai Rp 560,79 triliun menjadi Rp 549,76 triliun. Namun, penurunan tersebut lebih dikarenakan berkurangnya pula instrumen SRBI yang diterbitkan oleh BI.
Kalau melihat dari porsi kepemilikannya, justru kepemilikan bank di SRBI naik cukup signifikan. Dari hanya sekitar 60,67% di Desember 2024 naik menjadi 74,19% di Juli 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menilai peningkatan itu lumrah terjadi. Terlebih jika memang banyak dana yang saat ini belum dipakai untuk kredit karena memang permintaan menurun.
Baca Juga: Penggunaan Layanan BI-Fast Perbankan Kian Semarak, Transaksinya Terus Melonjak
Ia menampik bahwa pola ini bukan berarti bank sedang enggan untuk menyalurkan likuiditas yang dimiliki untuk kredit. Sebab, Dian bilang mau bagaimanapun bank akan lebih suka menyalurkan kredit karena bunganya juga lebih tinggi.
“Tentu kalau misalnya sudah ada demand atau segala macam, tentu ini akan dengan sendirinya beralih. Ini hanya temporary saja,” ujar Dian ketika ditemui di kawasan DPR RI, belum lama ini.
Setali tiga uang, Corporate Secretary Bank Mandiri, M. Ashidiq Iswara atau yang akrab dipanggil Ossy pun juga menegaskan pihaknya tetap berfokus pada fungsi intermediasi melalui penyaluran kredit sebagai prioritas utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Aset Perbankan Syariah Tembus Rp 967,3 Triliun per Juni 2025, Ini Kata OJK
Memang, ia mengakui bahwa dalam eksekusinya, Bank Mandiri tentu mengedepankan pendekatan optimalisasi portofolio dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara risk and return.
Oleh karena itu, Ossy bilang selain untuk kredit, penempatan dana juga dilakukan pada instrumen-instrumen lain yang likuid, dengan menyesuaikan kondisi pasar, dinamika kompetisi, serta kebutuhan likuiditas.
“Pendekatan ini memungkinkan Bank Mandiri untuk mengelola likuiditas secara lebih prudent dan berkesinambungan,” ujae Ossy.