kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mungkinkah Menyamakan Level Playing Field Multifinance dan Fintech?


Kamis, 03 Agustus 2023 / 22:42 WIB
Mungkinkah Menyamakan Level Playing Field Multifinance dan Fintech?
ILUSTRASI. Ilustrasi Financial Technology (Fintech).


Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di dalam roadmap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023/2027 di sektor perusahaan pembiayaan, salah satu poinnya menyebut multifinance dan fintech lending memiliki segmen pasar yang berbeda, namun bukan tidak mungkin keduanya menyamakan level playing field.

Misalnya dalam bisnis pinjaman tunai, dalam POJK Nomor 35/POJK.05/2018 perusahaan pembiayaan boleh memberikan pinjaman tunai maksimal Rp 500 juta disertai jaminan seperti kendaraan bermotor, tanah, bangunan atau alat berat.

Sementara, fintech sendiri dalam POJK Nomor 10/POJK.05/2022 diperbolehkan memberi pinjaman tunai maksimal Rp 2 miliar dengan data tentang objek jaminan disertakan jika memang ada.

Asal tahu saja, level playing field merupakan suatu konsep keadilan yang tidak berarti setiap pemain memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil, tetapi mereka bermain dengan aturan yang sama. Lantas mungkinkah keduanya bisa menyamakan level playing field?

Baca Juga: OJK Catat RBC Industri Asuransi di Atas Threshold Per Juni 2023

Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Bambang W. Budiawan menjelaskan, perusahaan pembiayaan dan perusahaan fintech peer to peer (P2P) lending alias pinjaman online (pinjol) memiliki karakteristik risiko yang berbeda.

“Misalnya pada perusahaan pembiayaan risiko gagal bayar (kredit) melekat pada perusahaan pembiayaannya, sementara pada P2P lending risiko tersebut secara prinsip ditanggung oleh pemberi dana,” ujarnya kepada Kontan.co.id, dikutip Kamis (3/8).

Oleh karena itu, kata Bambang, OJK saat ini masih terus mengkaji karakteristik dan mitigasi risiko masing-masing pada kedua industri tersebut, agar bila ada perubahan regulasi bisa tepat sasaran.

“Apabila dibutuhkan perubahan regulasi, regulasi yang disiapkan dapat lebih tepat bagi pengembangan industri masing-masing, menjaga kualitas kredit yang memadai, dan meningkatkan governance-nya,” terangnya.

Bambang menyebutkan, fokus OJK adalah bagaimana kedua industri memiliki tingkat risiko gagal bayar/kredit yang terus dapat diminimalisir dan manageable dengan tetap memiliki pertumbuhan industri yang baik.

“Penyamaan level playing field juga dapat berdampak pada risiko-risiko lain seperti risiko reputasi dan risiko hukum. Khususnya pada industri perusahaan pembiayaan, risiko likuiditas dan risiko operasional juga menjadi pertimbangan tambahan dalam hal ini,” sebutnya.

Lebih lanjut, Bambang menuturkan, OJK mempelajari bahwa ada beberapa karakteristik yang terdapat persamaan antara kedua industri antara P2P lending dan Perusahaan Pembiayaan yaitu kegiatan usaha penyaluran pembiayaan atau dana pinjaman.

“Namun demikian, kompleksitas kedua industri memiliki perbedaan sehingga secara keseluruhan tidak dapat diperlakukan dengan ketentuan yang sama,” tuturnya.

Baca Juga: Ayoconnect Gandeng Kredivo Luncurkan Auto Debit Kredivo

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan bahwa diperlukan adanya kajian untuk menyamakan level playing field dalam pemberian pinjaman tersebut.

“Memang itu suatu cerita yang berbeda dari sisi peraturan, tapi dimungkinkan bisa mempunyai level playing field yang sama, berapanya nanti kan ada dari fintech berapa, dari kita (multifinance) berapa, kalau mau sama dimungkinkan, tapi belum tentu bisa sama,” katanya.

Menurut Suwandi, yang dimaksud dalam roadmap tersebut masing-masing industri harus membuat kajian, diharapkan dalam diskusi itu menemukan kesepakatan yang adil.

“Itu dianggap tak sama, nah bisa menjadi samanya itu harus ada kajiannya. Kajiannya belum dibuat lagi diskusi,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×