Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
Pastinya ia menekankan, rencana kenaikan modal inti jangan sampai mematikan perusahaan tertentu.
Sebelumnya, berdasarkan Peraturan OJK (POJK) No.35/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan pasal 87 menyebutkan bahwa setiap perusahaan pembiayaan berbentuk perseroan terbatas wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp100 miliar.
Sejatinya ketentuan ini telah dilaksanakan secara bertahap mulai 2015 dengan nilai minimal modal Rp 40 miliar.
Jika tidak memenuhi aturan tersebut akan dikenakan sanksi. Pada pasal 111 menyebutkan, bahwa perusahaan yang tidak memenuhi aturan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha.
Baca Juga: Tahun 2019, MTF menyalurkan pembiayaan sektor UMKM capai Rp 3,994 triliun
“Pengkajian terus kami lakukan. Seiring itu, saya ingin memperbaiki hubungan antara kreditur dan debitur dulu. Kebanyakan perusahaan multifinance kinerjanya menurun karena kesulitan pendanaan. Memang respon dari perbankan belum diharapkan, walaupun sudah mulai kembali memberikan pembiayaan,” jelas Bambang.
Ia menuturkan padahal 80% dari perusahaan multifinance termasuk creditable. Juga semakin ke sini, Ia melihat sedikit multifinance yang aneh-aneh. Selain itu Bambang menilai pemberian kredit dari bank ke multifnance terbilang jelas. Lantaran mutltifinance juga diawasi oleh OJK.
Asal tahu saja, bisnis pembiayaan hingga November 2019 tercatat senilai Rp 453,24 triliun. Nilai ini tumbuh 4,47% secara tahunan atau year on year (yoy) dari posisi November 2018 sebanyak Rp 433,86 triliun.
Selain itu, rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing industri multifinance semakin membaik. Bila pada November 2018 di level 2,83% membaik menjadi 0,52% di November 2019.
Baca Juga: Indeks obligasi Indonesia kembali cetak rekor tertinggi sepanjang masa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News