kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

OJK, konsumen, Polri, dan AFPI menanti kehadiran UU Fintech


Selasa, 22 Oktober 2019 / 18:06 WIB
OJK, konsumen, Polri, dan AFPI menanti kehadiran UU Fintech
ILUSTRASI. ilustrasi Fintech atau financial technology. Segala bentuk teknologi di sektor finansial atau jasa keuangan, bank maupun non bank. Ilustrasi sumber dana di online. KONTAN/Muradi/2015/07/14


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak pihak menanti kehadiran Undang-Undang (UU) Financial Technology (Fintech) di tengah maraknya fintech ilegal serta penagihan pinjaman bermasalah. Kehadiran regulasi saat ini dirasa belum mampu menindak fintech ilegal, khususnya pemilik perusahaan.

Dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), konsumen, Polri hingga Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mendukung adanya UU Fintech. Nantinya aturan ini akan memperjelas landasan hukum dari sisi pengaturan, pengawasan, pihak yang dilibatkan hingga sanksi yang dikenakan.

Kanit Tipideksus Bareskrim Polri Kompol Setyo Bimo Anggoro menganjurkan adanya harmoninasi aturan lewat UU karena selama ini pemberian izin fintech tidak terintegrasi dan berbeda di tiap lembaga atau Kementerian.

Baca Juga: P2P Lending, Harapan Baru UKM Mendapatkan Pinjaman Usaha

Ia mencontohkan bahwa izin pendirian perusahaan di Kemenkumham, izin usaha di OJK serta pengoperasian aplikasi melalui izin Google atau Kemenkominfo.

“Regulasi harus dibereskan dahulu. Kalau regulasi masing-masing ada POJK, peraturan Kominfo dan aturan lain yang tidak harmonis maka akan selalu ada masalah di fintech, seperti fintech ilegal. Jadi, kita butuh UU untuk mengharmonikasi aturan lain,” kata Bimo di Jakarta, pekan lalu.

Hingga saat ini, kepolisian kesulitan untuk menindak fintech ilegal karena mereka tidak terdata, baik dari identitas pemberi pinjaman (lender), peminjam (borrower), pemilik perusahaan dan sumber dana. Akibatnya, sulit menjatuhkan sanksi berat bagi perusahaan fintech yang beroperasi tanpa izin karena ketiadaan UU.

Baca Juga: Implementasikan QRIS, LinkAja lakukan digitalisasi pasar

Padahal, kepolian telah menerima lebih dari 100 pengaduan terkait fintech, di mana mayoritas masalah penagihan. Pengaduan tersebut sekarang baru bisa diproses melalui hukum pidana umum, hukum tindak pidana khusus dan tindak pidana cyber crime.

Untuk pidana umum, seperti kasus pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, pemerasan dan pengancaman. Biasanya, penagih kredit melakukannya kepada peminjam.

Sedangkan tindak pidana khusus, seperti penggunaan pendanaan terorisme atau pencucian uang melalui transaksi di fintech. Sedangkan cyber crime melalui penyadapan data, penyebaran data pribadi, pengiriman gampar porno, memanupulasi data dan lainnya.

Sejak 2018 sampai Oktober 2019, Satgas Waspada Investasi (SWI) telah memblokir situs maupun aplikasi dari 1.477 fintech ilegal. Naasnya, fintech tersebut beroperasi kembali dengan nama berbeda sehingga sulit diberantas.




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×