Reporter: Nina Dwiantika | Editor: A.Herry Prasetyo
JAKARTA. Regulasi Bank Indonesia memperketat kredit pemilikan rumah dinilai belum cukup untuk mengadang spekulasi harga properti. Maklum, beleid uang muka dan larangan inden hanya mengerem pembelian rumah melalui KPR. Sedangkan pembelian rumah secara tunai berpotensi semakin marak.
Kepala Ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, menilai langkah BI memperketat KPR rumah pertama dan kedua itu sudah tepat. Namun upaya ini belum efektif karena harga properti masih tinggi dan akan terus naik.
Agar beleid itu lebih efektif, pemerintah perlu menerapkan pajak barang mewah properti, khususnya properti mahal. Misalnya wilayah dengan harga tanah Rp 5 juta per meter persegi. "Properti kelas atas akan lebih kena jika pajak barang mewah diterapkan, karena keinginan membeli rumah kedua akan lebih kecil sebab potensi labanya rendah," kata Anton, kemarin.
Dia menghitung, rasio pajak bisa sekitar 15%-20% dari harga rumah. Kewajiban pajak yang besar untuk rumah mahal ini akan menurunkan pertumbuhan properti secara perlahan.
Dia yakin, pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan menerapkan aturan pajak besar untuk rumah mewah. Namun, dia belum tahu waktu penerapan pajak barang mewah untuk properti.
Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara, A Prasetyantoko, menilai regulator harus melihat dulu dampak aturan uang muka KPR dan larangan inden untuk kredit rumah kedua. Jika kebijakan itu tak mampu mengendalikan harga rumah akibat spekulasi, perlu pungutan pajak besar bagi rumah mewah. "Sebenarnya aturan LTV untuk rumah pertama dan kedua, larangan inden dan kenaikan suku bunga kredit dapat menurunkan pertumbuhan kredit properti," ucap dia.
Jika pungutan pajak rumah mewah diterapkan, persentasenya jangan terlalu tinggi karena memberatkan pengembang. Sebab, ekspansi dan laba pengembang besar akan menurun.
Prasetyantoko bilang, regulator di luar negeri memang menerapkan loan to value (LTV) untuk rumah kedua dan mematok pajak tinggi untuk rumah mewah dalam menekan spekulasi. Nah, kedua kebijakan ini dilakukan bersamaan. "Menurut saya, jika aturan LTV BI tidak efektif, baru perlu ada penerapan pajak mewah," jelas dia.
Sebelumnya Direktur Departemen Komunikasi BI, Peter Jacob, menjelaskan beberapa negara di Asia sudah menerapkan pajak tinggi untuk properti (rumah dan apartemen) mewah agar dapat menekan spekulan properti. Misalnya, pemerintah menerapkan pajak rumah mewah sebesar 18%-20% dari pajak sebelumnya 10%.
Meski aturan pajak bukan wewenang BI, pengawas perbankan ini rutin berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak untuk pembahasan pemberian pajak besar bagi rumah mewah.
Dirjen Pajak, Fuad Rahmany, menyambut baik usulan menaikkan pajak penjualan atas barang mewah PPnBM, dalam hal ini properti. "Kalo ada usul itu, saya sependapat. Tapi saya tidak memiliki wewenang kebijakan tentang tarif pajak," ujar Fuad kepada KONTAN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News