Sumber: KONTAN | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Rencana pemberlakuan tarif referensi bagi asuransi properti masih jauh panggang dari api. Akibatnya, saat ini, perang tarif antar penyedia asuransi properti masih berlangsung.
Agar perang harga cepat berakhir, industri asuransi telah meminta pemerintah segera merealisasikan rencana pemanfaatan data yang disusun Badan Pengelola Pusat Data Asuransi Nasional (BPPDAN). “Penerapan data BPPDAN bisa menurunkan loss ratio perusahaan reasuransi,” kata Kocu Andre Hutagalung, Division Head Reasuransi Indonesia (Reindo), Selasa (10/11).
BPPDAN adalah lembaga yang mengelola data statistik asuransi kebakaran. Badan ini dibentuk berdasarkan Surat Keputuan Dewan Asuransi Indonesia yang kini bernama Federasi Asosiasi Perasuransian Indonesia (FAPI).
Fungsi utama lembaga ini adalah menghimpun berbagai informasi statistik. Data yang dipublikasikan BPPDAN memuat informasi detil mengenai jumlah pertanggungan yang diterima industri untuk setiap jenis bangunan, klaim rasio, hingga perkembangan nilai klaim berdasarkan underwriting year.
“Data BPPDAN sudah mencukupi. Hanya saja pemerintah mau atau tidak menerapkan itu? Lalu pelaku industri sendiri bagaimana, mereka mau atau tidak menjalankannya?” ujar Kocu.
Saat ini, tarif premi asuransi properti dinilai tidak mencerminkan harga yang wajar. Apabila perhitungan tarif mencerminkan biaya yang wajar, besar tarif bisa naik tiga kali lipat daripada tarif yang berlaku sekarang. Tarif yang berlaku untuk bangunan sekarang ini berkisar pada angka 1,5 per mil.
Sebenarnya, imbuh Kocu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) pernah membuat acuan tarif properti pada tahun 2001 dan 2002. Namun harga rujukan ini juga tidak dimanfaatkan.
Wakil Direktur Utama PT Asuransi Bumiputeramuda 1967, Julian Noor, mengatakan, pembenahan tarif bisa dilakukan bersamaan dengan revisi premi gempa bumi yang akan disusun dalam waktu dekat ini. Julian menyarankan agar regulator juga bisa menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk menghentikan perang tarif di asuransi properti, seperti ketika menghentikan gejala serupa yang pernah terjadi di asuransi kendaraan bermotor.
Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata menilai, para pelaku industri masih mampu menyelesaikan sendiri persoalan ini. Data BPPDAN bisa mereka jadikan acuan, “Tapi harus digunakan secara obyektif dan tidak menimbulkan isu kartel yang mungkin bertubrukan dengan UU Anti Monopoli,” kata Isa.
Untuk itu, imbuhnya, perlu ada pihak independen yang mengolah data BPPDAN dan membuatnya menjadi semacam tarif referensi. "Di luar negeri, seperti di Jepang dan Korea Selatan, ada lembaga independen yang dibiayai bersama oleh seluruh perusahaan asuransi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News