Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan kredit korporasi melambat seiring sikap hati-hati perbankan dalam mengantisipasi risiko kredit macet. Pasalnya, rasio kredit bermasalah (NPL) pada segmen korporasi masih lebih tinggi dibandingkan kredit konsums
Berdasarkan yang diolah dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPL untuk kredit korporasi per Mei 2025 berada di level 2,29%. Catatan tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan NPL untuk kredit konsumsi yang berada di level 2,27%.
Kondisi tersebut juga sejalan dengan pertumbuhan kredit korporasi yang memang lebih lambat dibandingkan pertumbuhan kredit konsumsi. Di periode yang sama, kredit korporasi tumbuh 8,28% secara tahunan (YoY) dan kredit konsumsi tumbuh 8,82% YoY.
Baca Juga: Kredit Macet Rumah Tangga di Perbankan Belum Pulih, KPR Jadi yang Paling Tinggi
Meski demikian, NPL dari kredit korporasi ini sejatinya sudah mengalami penurunan dari posisi Juni 2024 yang mencapai 2,5%. Di mana, NPL kredit konsumsi justru mencatat kenaikan dari posisi Juni 2024 yang ada di level 1,88%.
Kondisi tersebut pun sejalan dengan apa yang terjadi di beberapa bank dengan aset besar. Ambil contoh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang secara signifikan mampu memperbaiki kualitas kredit korporasinya.
Sebagai gambaran, pada periode Juni 2025, NPL kredit korporasi dari bank pelat merah ini berada di level 1,61%. Padahal, pada periode yang sama di tahun sebelumnya, rasio kredit macet untuk segmen tersebut berada di level 3,07%.
Meskipun memiliki risiko kredit yang kecil, Direktur Corporate Banking BRI Riko Tasmaya mengungkapkan BRI tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan ke korporasi. Dalam hal ini, ia menjelaskan BRI kini lebih fokus pada korporasi yang memiliki keterkaitan langsung dengan rantai pasok (value chain) segmen usaha mikro.
Menurut Riko, selain memperkuat UMKM sebagai core bisnisnya, BRI juga perlu membangun portofolio pembiayaan yang berimbang. Di mana, dukungan terhadap sektor korporasi strategis yang berkontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja serta penguatan struktur ekonomi nasional secara menyeluruh.
Baca Juga: Konsumsi Naik Saat Tabungan Tergerus, Ekonom Ingatkan Risiko Peningkatan Kredit Macet
“Kami terus berupaya mengoptimalkan potensi di sektor korporasi agar dapat menjangkau lebih banyak sektor ekonomi yang membutuhkan akses permodalan,” ujarnya, belum lama ini.
Kondisi serupa terjadi di PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Bank swasta terbesar ini mencatat komposisi kredit macet dari segmen korporasi mengalami penurunan ketika kredit macet dari segmen konsumer meningkat.
Per Juni 2025, komposisi kredit macet BCA dari segmen korporasi mencapai 36,6% dan masih menjadi yang tertinggi dari segmen lainnya. Namun, dominasi tersebut sudah menyusut dari periode Juni 2024 yang mencapai 38,2%.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menjelaskan bahwa ada prinsipnya rasio NPL untuk segmen korporasi dan segmen lainnya tetap terkendali. Di mana, total NPL BCA secara keseluruhan tetap terjaga di level 2,2% pada periode enam bulan pertama 2025.
Ia bilang pihaknya senantiasa menyalurkan kredit secara prudent, sekaligus mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan disiplin dalam penerapan manajemen risiko.
“BCA memaksimalkan berbagai kanal penyaluran pembiayaan, digitalisasi, serta optimalisasi rantai pasok buyer atau mitra secara prudent,” ujar Hera.
Baca Juga: Sektor UMKM Hadapi Banyak Tantangan, Kredit Macet Kian Bengkak
Sependapat, Direktur Global Banking PT Bank Maybank Indonesia Tbk Ricky Antariksa mengungkapkan NPL kredit korporasi di industri perbankan memang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kredit konsumsi. Hal tersebut juga terjadi tercermin di kinerja Maybank Indonesia.
Jika mengacu pada presentasi perusahaan, NPL gross untuk kredit global banking yang setara dengan kredit korporasi berada di level 0%, sementara NPL gross untuk kredit konsumsi di Maybank Indonesia mencapai 2,03%.
“Meski portofolio kami sehat, kami tetap waspada terhadap sektor-sektor dengan risiko lebih tinggi, seperti komoditas dan beberapa subsektor manufaktur, karena dinamika pasar global serta melakukan mitigasi risiko melalui diversifikasi dan pengelolaan yang proaktif,” ujar Ricky.
Selanjutnya: Rupiah Menguat di Tengah Pelemahan Dolar, The Fed Jadi Pemicu
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Olahraga Lari untuk Kesehatan Mental, Sama Baiknya dengan Antidepresan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News