Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan perbankan global mulai diwaspadai oleh bankir di dalam negeri. Dalam satu bulan terakhir, Silicon Valley Bank (SVB) dan Credit Suisse mengalami kegagalan. Terbaru, Deutsche Bank tengah merasakan dampak krisis perbankan global.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) mengatakan, tekanan dari krisis bank global ini memang perlu diantisipasi. Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengakui tidak ada kesamaan kepemilikan portofolio maupun model bisnis antara bank di Indonesia maupun SVB dan Credit Suisse.
“Kita bersyukur, perbankan di Indonesia lebih konservatif dan tidak terkonsentrasi pada sektor tertentu, kita lebih bervariasi. Hingga akhir 2022, cakupan kerugian penurunan nilai (CKPN) Bank Mandiri mencapai 311%, ini memberikan sinyal kondisi bank sangat sehat dan permodalan sangat kuat,” papar Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI Pada Selasa (28/2).
Dia menambahkan, gaya manajemen bank global yang terdampak itu juga berbeda dengan manajemen perbankan di tanah air. Selain itu, Bank Mandiri juga tidak memiliki portofolio secara ekuitas.
“Secara mark to market, kita juga disiplin melakukan hal tersebut. Karena unrealized loss dari available for sale (AFS) portofolio surat berharga terhadap modal mencapai 15%. Sedangkan kita memiliki, protokol tidak lebih dari 5%. Kalau ada paling 1% sampai 3% yang bisa kita kelola saat ini,” tambah Darmawan.
Baca Juga: Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global, Bank Mandiri Terapkan 3 Fokus Utama di 2023
Dia menekankan, kegagalan pada bank yang fokus pada segmen start up, kripto, dan teknologi di global tidak sama dengan bisnis yang Bank Mandiri jalankan. Kendati demikian, sektor perbankan tengah menjadi sorotan publik.
“Semoga sorotan ini tidak mengancam baik dari valuasi market maupun kepemilikan saham perbankan di Indonesia. Maupun kepemilikan dana pihak ketiga (DPK) masyarakat di perbankan Indonesia,” tuturnya.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan salah satu faktor kegagalan tiga bank di Amerika Serikat karena banyak memiliki aset yang ditempatkan di surat berharga utama milik pemerintah alias US Treasury. Perry mengaku aset tersebut terlihat memiliki risiko yang rendah karena dimiliki oleh pemerintah.
Namun, terdapat risiko valuasi karena memiliki sifat available for sale (AFS) sehingga terkena mark to market valuasi. Lanjut ia, sangat kecil yang hold to maturity (HTM) sehingga terjadi loss dalam valuasi surat berharga.
Baca Juga: Tangkap Peluang dan Mitigasi Risiko, Bos Bank Mandiri Ungkap 4 Tren Perbankan di 2023
Lantaran, kenaikan bunga acuan The Fed ikut mengerek yield US Treasury, ini membuat harga surat utang pemerintah AS itu turun harga. Perry menyebut itulah yang menjadi penyebab kerugian valuasi sehingga modal bank terkikis dan membuat nasabah berbondong-bondong menarik simpanannya.
Berdasarkan hasil stress test BI, bank di tanah air memang memiliki aset di SBN pemerintah Indonesia. Sejak tahun lalu, perbankan Indonesia sudah menggeser kepemilikan SBN yang bersifat hold to maturity (HTM) yang lebih stabil.
Padahal sebelumnya, kebanyakan bank masih miliki SBN bersifat available for sale (AFS) saat terjadi kenaikan suku bunga sehingga terkena mark to market valuasi. Perry menyatakan dampak kenaikan yield SBN tidak terlalu tinggi sehingga risikonya rendah terhadap bank.
Selain itu, Perry menambahkan bank yang memiliki valuasi negatif terhadap SBN telah membentuk pencadangan. Bahkan, rasio kepemilikan modal bank alias capital adequacy ratio (CAR) bank di level 25,88% setelah melakukan pencadangan hingga saat ini.
Perry menyimpulkan kondisi perbankan Indonesia memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat atas volatilitas di SBN. Begitu pun terhadap dampak dari kegagalan bank global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News