Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Peristiwa jatuhnya pesawat komersial Air Asia QZ8501 di Selat Karimata beberapa waktu lalu, sudah pasti akan mengerek klaim asuransi aviasi. Namun demikian, tarif premi asuransi aviasi yang dibayarkan pemilik pesawat kepada perusahaan asuransi malah berpotensi turun. Kok bisa?
Arman Juffry pengamat asuransi sekaligus Direktur Utama Jardine Lloyd Thompson Indonesia bilang, industri penerbangan di Indonesia berkembang pesat. Keamanan penerbangan pun meningkat. Hal ini terbukti dari rendahnya catatan kecelakaan industri penerbangan.
Bahkan, rasio klaim asuransi aviasi dalam lima tahun terakhir sangat terukur. Data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melansir, rasio klaim bruto asuransi aviasi pada kuartal ketiga tahun lalu hanya berkisar 17% dengan nilai klaim bruto sebesar Rp 87,6 miliar.
Bandingkan dengan rasio klaim bruto asuransi harta benda yang sebesar 38,4% atau asuransi kendaraan bermotor 45,8% dan kesehatan yang melesat hingga 71,1%. Itu artinya, keuntungan yang ditawarkan dari bisnis asuransi aviasi masih sangat menggiurkan.
“Kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 akan membuat klaim bengkak beberapa perusahaan asuransi kerugian, namun tidak serta merta mengerek tarif premi asuransi aviasi. Justru, perkiraan saya, tarif premi asuransi aviasi berpotensi turun hingga 12,5% tahun ini. Kenapa? Karena profil risiko rendah dan profitnya masih bagus,” ujarnya, kemarin.
Apalagi, menurut Arman, risiko untuk pesawat jenis general aviation. Pesawat berukuran kecil, lebih kecil daripada air carriers, ini memiliki profil risiko yang sangat baik dengan keuntungan yang cukup menggiurkan. Berbeda halnya dengan air carriers yang keuntungannya cukup stabil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News