Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak upaya dilakukan oleh para pelaku uang elektronik berbasisis server agar bisa bertahan menjalankan bisnis. Sebab saat mula beroperasi, industri ini harus melakukan marketing dan edukasi bagi pengguna.
Salah satu upayanya dengan memberikan promosi agar pengguna uang tunai merasakan pengalaman bertransaksi uang elektronik. Upaya menarik pengguna dengan memberikan potongan harga kadang memberatkan kinerja keuangan perusahaan.
Baca Juga: Punya direktur keuangan, LinkAja siap cari investor swasta
PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) sebagai pemegang izin uang elektronik LinkAja telah menyiapkan agar bisnis bisa bertahan. Chief Marketing Officer LinkAja Edward Kilian Suwignyo menyatakan menyatakan telah menerapkan strategi across usecase.
Artinya, LinkAja bisa digunakan untuk berbagai keperluan di berbagai aplikasi. Sehingga pengguna akan menjadi lebih loyak karena usecase atau kegunaan dari LinkAja lebih banyak dan tidak hanya mengandalkan potongan harga.
Selain itu, Edward mengaku LinkAja membidik pengguna yang unbankable. Ia yakin segmen ini lebih membutuhkan uang digital. Sedangkan segmen yang sudah memiliki rekening bank akan menjadikan uang digital sebagai instrument pembayaran pelengkap saat ada potongan harga.
“Setiap bulan terjadi pertumbuhan pengguna aktif sebanyak 5,1 kali lipat. Pertumbuhan nilai transaksi 4,8 kali dan jumlah transaksi tumbuh 4,7 kali lipat setiap bulan. Itu tanpa bujet bakar uang yang besar. Tahun dapat secara bisnis diharapkan tumbuh setidaknya dua kali lipat,” ujar Edward di Jakarta pada Selasa (17/12).
Baca Juga: Cari investor swasta, akankah saham milik BUMN di LinkAja terdelusi?
Ia melanjutkan, LinkAjak tidak memiliki wacana untuk ubah strategi penerapan biaya pada beberapa layanan. Namun Ia menyatakan untuk penarikan via ATM sejak awal LinkAja telah menerapkan biaya sebesar Rp 6.500.
Ke depan, LinkAja akan terus memperluas jangkauan pengguna hingga melayani 70% hingga 80% penduduk Indonesia. Cara tetap fokus pada kota-kota tier dua dan tiga. Juga meningkatkan usecase LinkAja yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
PT Visionet Internasional atau yang lebih dikenal sebagai OVO juga mulai menggunakan biaya Rp 2.500 tiap kali transaksi dan mulai berlaku pada 12 Desember 2019. Direktur OVO Harianto Gunawan bilang biaya itu terbilang kompetitif dengan real time transfer. Ia juga mengklaim transaksi yang terjadi mudah dan aman.
“Dapat dilihat biaya transfer tersebut tetap lebih murah dibandingkan dengan biaya transfer yang ada di market saat ini. Adapun pengenaan biaya tersebut, adalah untuk mulai mengurangi sebagian beban operasional. Sesuai arahan regulator, OVO sedang bergerak ke arah sustainable business,” papar Harianto.
Baca Juga: LinkAja fokus beri solusi ke sektor unbanked dan underbanked di tahun depan
Ia melanjutkan, langkah ini dianggap penting agar OVO bisa terus berinovasi dan melakukan edukasi agar visi mewujudkan masyarakat non tunai. Selain itu,OVO telah menyiapkan langkah guna meraup menjalankan bisnis uang digital. Apalagi langkah menganggarkan bujet marketing yang besar menekan pendapatan perusahaan.
“Mungkin barang dua tahun ini, memang masih merugi. Sebab kami masih fokus masuk ke market agar masyarakat menggunakan uang digital. Tapi sekarang kita menyaksikan sebuah pasar sudah sangat mature. Tidak hanya didominasi oleh anak muda hingga yang berusia 40 tahun ke atas. Dengan basis konsumen yang semakin besar akan jadi basis yang baik untuk menjadikan perusahaan fintech memiliki bisnis yang berkesinambungan,” ujar Karaniya belum lama ini.
Oleh sebab itu, Karaniya bilang dalam satu tahun ini sudah memotong bujet marketing atau pemasaran hingga 50%. Bahkan langkah memotong bujet marketing ini akan terus OVO lakukan ke depannya.
Baca Juga: LinkAja akan siapkan pembayaran KRL saat sinyal handphone hilang
“Revenue kita terus bertumbuh karena ekosistem kita juga berkembang, konsumen besar, ini akan terus besar. Nah ruang bertumbuhnya masih besar seiiring dengan penetrasi uang digital masih rendah sekitar di bawah 5%,” jelas Karaniya.
Selain itu, OVO akan fokus mendapatkan revenue dari bisnis lainnya. Ia bilang saat ini OVO sudah mulai menjajaki bisnis layanan keuangan. Tahun depan langkah ini akan terus dipertajam.
“Kita masuk ke financial services, kami generate multiple revenue. Nanti dengan Bareksa kami akan luncurkan produk investasi, itu other revenue model. Kita juga sudah bekerja sama dengan Prudential, itu kan juga model bisnis lain yang mendatangkan pendapatan. Lending kita akan terus diperkuat,” tambah Karaniya.
Ia menyebut hingga saat ini OVO sudah terdapat di 115 juta perangkat. Adapun pengguna OVO sebanyak 87 juta pengguna, sedangkan monthly active user 11 juta hingga 12 juta. Karaniya bilang saat ini transaksi paling besar dari OVO berasal dari e-commerce. Nilai transaksi di e-commerce juga lebih besar dari ride hailing maupun food and beverage.
Baca Juga: Agresif marketing, pengguna e-money berbasis server bermekaran di penghujung tahun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News