Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Duh, rata-rata modal perusahaan reasuransi lokal cuma Rp 300 miliar – Rp 400 miliar. Tak heran, industri ini kewalahan mengamini keinginan regulator untuk memperbesar risiko yang ditahan sendiri (retensi) di dalam negeri. Jika dipaksakan, bisa-bisa reasuransi lokal malah terancam gagal klaim.
Aviantono Yudihariadi, Anggota Departemen Statistik Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengatakan, dengan rata-rata modal reasuransi lokal yang tidak lebih dari Rp 400 miliar, risiko yang mampu ditahan pun menjadi terbatas. “Hanya risiko kecil dan sebagian risiko menengah saja,” ujarnya ditemui KONTAN, kemarin.
Data AAUI mengklasifikasikan, risiko kecil berasal dari lini usaha asuransi kendaraan bermotor, harta benda, pengangkutan kapal, aneka dan rekayasa, sedangkan risiko menengah berasal dari lini usaha asuransi kecelakaan diri dan kesehatan, tanggung gugat, rangka kapal dan penjaminan.
Sementara, risiko besar terdiri dari lini usaha asuransi pesawat udara, energy on shore, kredit, energy off shore dan satelit. Disebut risiko besar karena pertanggungannya di atas US$ 300 juta. Pangsa pasar asuransi ini pun terbilang mini, yakni 10,8% dari total bisnis asuransi umum tahun lalu.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau industri asuransi untuk lebih banyak menyerap risiko di dalam negeri. Soalnya, premi asuransi dan reasuransi ditengarai terbuang sia-sia ke luar negeri dan menyumbang defisit neraca pembayaran.
Jumlahnya mencapai Rp 11 triliun. Sebanyak 60% dari jumlah itu bahkan tergolong premi sehat yang berasal dari asuransi kendaraan bermotor, kecelakaan diri dan kesehatan. Industri asuransi berdalih, kapasitas menahan risiko di dalam negeri memang tidak mencukupi. “Selain karena alasan menyebar risiko, reasuransi lokal belum mampu menahan risiko lebih besar,” imbuh Aviantono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News