Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Batas waktu bagi perusahaan asuransi melakukan spin off Unit Usaha Syariah (UUS) semakin dekat. Akan tetapi, masih ada 48 perusahaan yang belum siap melakukan spin off.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, 48 unit syariah tersebut berasal dari 22 unit syariah asuransi jiwa, 24 unit syariah asuransi umum dan dua unit syariah reasuransi. Sementara perusahaan yang telah melakukan spin off baru empat perusahaan, yaitu satu unit syariah dari perusahaan asuransi jiwa, dua unit syariah dari asuransi umum dan satu dari unit syariah perusahaan reasuransi.
Terkait hal itu, otoritas mewajibakn perusahaan untuk menyampaikan rencana spin off paling lambat Oktober 2020.
Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot berharap, pelaku usaha asuransi segera melakukan spin off segera mungkin sebelum batas waktu yang ditentukan.
“OJK mendorong spin off dari beberapa sisi yaitu pengaturan, pengawasan, maupun pengembangan kapasitas industri,” kata Sekar kepada Kontan.co.id, Rabu (6/2).
Selain itu, merekomendasikan kepada pelaku industri melakukan penguatan kapasitas perusahaan dalam rangka mempersiapkan spin off, baik dari sisi sumber daya manusia (SDM) maupun infrastruktur yang mendukung bisnis syariah.
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menilai, lambatnya pelaku usaha menerapkan spin off karena terhalang oleh sejumlah kendala. Hambatan pertama, perusahaan asuransi joint venture dengan investor asing sulit masuk ke pasar Indonesia, karena harus menggaet lebih banyak mitra lokal.
Sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Kepemilikan Asing Perusahaan Perasuransian. Dalam pasal 5 ayat 1, menyebutkan bahwa kepemilikan perusahaan asing tidak melebih 80% modal yang disetor.
“Untuk joint venture, pihak asing mempunyai ekuitas yang sangat besar. Tapi mereka harus memenuhi ketentuan 20% mitra lokal, dan itu tidak gampang,” katanya.
Hambatan kedua, dari sisi kecukupan modal. Perusahaan yang sudah spin off harus memiliki minimal modal Rp 50 miliar, sedang perusahaan reasuransi Rp 100 miliar. Syarat ini tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 65 Tahun 2016.
Pihaknya yakin perusahaan bisa mencapai syarat modal minimal tersebut, tapi besaran modal itu dinilai kurang mencukupi untuk melakukan ekspansi pasar yang lebih besar. Mengingat, pasar syariah di Indonesia masih relatif kecil.
Hambatan ketiga adalah modal UUS untuk perusahaan asuransi lokal sangat kecil. Kondisi tersebut berpengaruh jika perusahaan melakukan ekspansi maka penetrasi pasar lebih lambat dan kalah bersaing dengan perusahaan yang sudah kuat secara permodalan.
Ditambah lagi, perbankan syariah kian selektif memberikan pendanaan karena tingkat kredit masalah (NPF) terus naik. Akibatnya, penyaluran kredit perbankan lebih ketat, sedangkan perusahaan asuransi masih mengandalkan 40%-50% pendanaan dari perbankan.
Hambatan keempat, perusahaan juga dibebankan besaran fixed cost sekitar Rp 20 miliar untuk pengembangan SDM dan divisi umum. Sementara beban usaha Rp 20 miliar untuk biaya akuisisi dan pemasaran.
Berbagai kendala tersebut, membuat tingkat kepercayaan perusahaan asuransi untuk spin off turun. Merujuk data AASI, awalnya perusahaan asuransi jiwa masih optimistis di angka 82,6%, tapi turun menjadi 45%. Sedangkan asuransi umum dan reasuransi yang awalnya optimistis 80,6%, turun signifikan menjadi 22%.
Maka itu, menurut Roni, untuk bisa melebarkan pangsa pasarnya, UUS perusahaan asuransi harus memiliki produk yang inovatif serta meningkatkan investasinya di bidang teknologi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News