Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dua bank pelat merah yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), kompak meluncurkan surat utang baru sebelum menutup tahun 2025. Namun, penerbitan obligasi tak serta-merta berarti likuiditas bank terganggu.
BTN menjadi yang lebih dulu melakukan penawaran awal di 21–28 November 2025, untuk Obligasi Subordinasi atau Subdebt dan Obligasi Berwawasan Sosial atau Social Bond. Dari kedua surat utang itu, targetnya masing-masing bakal menyerap dana sebesar Rp 2 triliun dan Rp 300 miliar.
Untuk Obligasi Subordinasi, BTN menawarkan indikasi kupon di kisaran 5,85% – 6,75% dengan tenor 5 tahun. Sementara untuk Social Bond, kupon yang ditawarkan berada berkisar 5,25% – 5,75% dengan tenor 3 tahun.
Obligasi Subordinasi ini diterbitkan untuk meningkatkan permodalan. Untuk diketahui, posisi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) BTN berada di 18,16% per Oktober 2025, naik dari posisi 18,00% pada bulan sebelumnya.
Baca Juga: Presiden Komisaris BFI Finance Raih Rp 3,75 Miliar dari Hasil Jual Saham BFIN
Meski begitu, posisi September 2025 itu sebenarnya memang sudah mencerminkan penurunan 70 basis poin dibanding September 2024 yang berada di 18,70%.
BTN menargetkan penguatan modal khususnya di komponen Tier 2-Capital. Artinya, dana yang dihimpun dari Obligasi Subordinasi ini utamanya bakal dipakai sebagai modal pelengkap. Direktur Utama BTN Nixon Napitupulu menjelaskan, penguatan modal ini diarahkan untuk mendukung pertumbuhan bisnis, khususnya di sektor perumahan sebagai core business bank.
“Dengan begitu BTN dapat memberikan kontribusi yang signifikan dan berkelanjutan dalam Program Tiga Juta Rumah yang diusung pemerintah,” jelas Nixon, Minggu (30/11/2025).
Kemudian, dana dari Social Bond bakal diarahkan untuk pembiayaan proyek-proyek berdampak sosial signifikan. Secara rinci, Nixon menyebutkan kredit perumahan rakyat (KPR) subsidi, infrastruktur dasar pendukung perumahan rakyat, pembiayaan UMKM, hingga program lainnya yang berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja dan pengurangan pengangguran.
Sementara itu, obligasi yang diterbitkan Bank Mandiri adalah Obligasi Keberlanjutan Berkelanjutan I Tahap I Tahun 2025 atau Sustainability Bond. Surat utang ini ditargetkan bakal mengisi kantong bank dengan dana sebesar Rp 5 triliun dan mulai ditawarkan pada 28 November–4 Desember 2025.
Obligasi ini nantinya bakal diterbitkan dalam tiga seri dengan tingkat bunga tetap serta tenor 370 hari, 3 tahun, dan 5 tahun. Pembayaran bunga dilakukan setiap tiga bulan melalui KSEI dengan distribusi awal dijadwalkan pada 19 Desember 2025
Baca Juga: OJK: Belum Ada Aturan Penetapan Tarif Batas Atas dan Bawah Imbal Jasa Penjaminan
Bank Mandiri menerbitkan obligasi ini untuk diferensiasi produk. Lebih dalam, disebutkan penerbitan obligasi ini menjadi langkah strategis bank dalam memperkuat struktur pendanaan, menghadirkan diferensiasi pengelolaan likuiditas, serta memperbesar ruang intermediasi untuk pembiayaan strategis dan berkelanjutan.
Advisor Banking & Finance Development Center Moch Amin Nurdin mengatakan, penerbitan obligasi kedua bank ini bukan sinyal kondisi likuiditas yang terganggu. Malah, menurutnya secara umum likuiditas bank-bank negara saat ini masih dalam batas aman.
Toh, sebelumnya Himbara sudah menerima suntikan likuiditas dari dana SAL sebesar Rp 200 triliun. Amin bilang dana SAL ini secara relatif telah digunakan untuk ekspansi kredit demi mendorong pertumbuhan kredit yang memang belakangan seret.
Menurut hematnya, dampak dari suntikan likuiditas itu memang belum optimal. Pun, secara umum penerbitan obligasi memberikan fleksibilitas lebih tinggi ketimbang dana SAL.
“Apalagi dengar-dengar SAL akan ditarik kembali oleh Kementerian Keuangan di akhir 2025,” sebut Amin.
Jika ditilik dari indikator likuiditas loan to deposit ratio (LDR), BTN memang menunjukkan likuiditas yang cukup di level 88,63% per September 2025, turun dari posisi 96,04% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara likuiditas Bank Mandiri terpantau masih cukup ketat di level LDR 92,55%, meski lebih baik ketimbang posisi 93,15% tahun sebelumnya.
Berbeda dengan dua bank tersebut, sejumlah bank lain memilih tak menerbitkan obligasi dengan kondisi likuiditas yang memadai. Misalnya, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dengan posisi LDR di 75,59%.
Meski posisi tersebut masih naik dari level 75,10% pada tahun sebelumnya, EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn memastikan pihaknya tak memerlukan tambahan dana untuk melonggarkan likuiditas.
“Hingga saat ini, BCA belum berencana menerbitkan obligasi. Saat ini kondisi likuiditas BCA berada pada posisi memadai,” ujar Hera.
Baca Juga: Strategi Investasi BP Jamsostek per Oktober 2025: 70% Dana di Surat Utang
Senada, Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan menyebutkan bahwa pada dasarnya PT Bank CIMB Niaga Tbk selalu siap menerbitkan obligasi, tetapi itu dilakukan hanya jika ada kebutuhan. Sementara, likuiditas bank sejauh ini masih terjaga dengan posisi LDR 81,06%, turun dari 84,29% pada tahun sebelumnya.
“Untuk tahun ini likuiditas kami sangat cukup, jadi tidak ada rencana menerbitkan obligasi,” ungkap Lani.
Sementara itu, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) yang juga menerima suntikan likuiditas dari dana SAL tetap mengantisipasi risiko yang ada. Corporate Secretary BSI Wisnu Sunandar menyebut, pihaknya bakal menempatkan dana pada instrumen keuangan lain sebagai bentuk antisipasi risiko likuiditas.
“Kami mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk mendorong sektor riil melalui penempatan SAL ini. Meskipun memiliki pertumbuhan double digit, BSI tetap harus menjaga dan mengantisipasi segala potensi risiko,” kata Wisnu.
Selanjutnya: Perkuat Pengembangan Ruang Usaha di Downtown Alam Sutera
Menarik Dibaca: 14 Makanan Penurun Kolesterol secara Alami, Cek di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













