Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus gagal bayar yang dialami anak usaha Duniatex Group kaget. Apalagi, kini enam entitas Duniatex Group tengah dinvestigasi oleh Bareskrim Polri. Pasalnya, para kreditur mengaku penyaluran kredit ke salah satu grup usaha tekstil terbesar di Indonesia ini sudah memenuhi azas kehati-hatian (prudent).
“Segala hal terkait pemberian fasilitas pembiayaan kami kepada Duniatex telah dilakuan dengan dengan memperhatikan prinsip prudential banking,” kata Corporate Secretary PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS) Mulyatno kepada Kontan.co.id.
Meski demikian Mulyatno menyatakan, BRI Syariah akan mematuhi proses hukum yang digelar Bareskrim. Ia bilang, BRI Syariah siap untuk dimintai keterangan terakit pemberian fasilitas pembiayaan kepada Duniatex.
BRI Syairah tercatat memiliki eksposur pembiayaan kepada tiga entitas Duniatex Group dengan nilai total Rp 440 miliar. atas fasilitas pembiayaan tersebut, BRI Syariah memegang jaminan dengan rasio 162% dari total pembiayaan yang diberikan. Perinciannya, 112% berupa aset tetap, dan 50% berupa fidusia dari piutang Duniatex Group.
Catatan saja, enam entitas Duniatex Group tengah diinvestigasi oleh Bareskrim Polri. Mereka diduga melakukan fraud, penggelapan, pengabaian, dan pencucian uang terkait sejumlah kasus kredit macet yang melandanya.
Baca Juga: Bareskrim investigasi dugaan fraud hingga pencucian uang oleh Duniatex
Enam entitas yang tengah diselidiki adalah PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), PT Delta Dunia Textile (DDT), PT Delta Merlin Sandang Textile (DMST), Delta Dunia Sandang Textile (DMST), PT Delta Setia Sandang Asli Tekstil (DSSAT) and Perusahaan Dagang dan Perindustrian Damai alias Damaitex.
Beberapa kredit macet yang dialami Duniatex misalnya. Pada 10 Juli 2019, DDST gagal membayar bunga senilai US$ 13,4 juta atas utang sindikasi US$ 260 juta. 12 September 2019, giliran DMDT gagal membayar bunga perdana senilai US$ 12,9 juta dari obligasi global yang diterbitkannya pada Maret lalu.
Enam entitas Duniatex tersebut kini juga tengah menghadapi perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Semarang. Perkara diajukan salah satu pemasok Duniatex yaitu PT Shine Golden yang punya menagih utang Rp 1,69 miliar.
Sebagai informasi, Debtwire Senin (23/9) melaporkan, kreditur bank Dunaitex juga disebut telah dipanggil Bareskrim untuk dimintai keterangannya. “Ada kecurigaan terhadap Duniatex, auditornya, penilai, pemasok, pengawas dan bankir, menurut surat dari Bareskrim,” tulis Debtwire.
Kontan.co.id telah berupaya menghubungi Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (TIpideksus) Bareskrim Polri Tornagogo Sihombinga untuk mengonfirmasi hal ini. Sayang ia tak merespon pertanyaan Kontan.co.id hingga berita turun.
Sementara itu Direktur Bisnis Korporasi PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Putrama Wahju Setyawan justru mengaku baru mengetahui adanya investigasi yang dilakukan Bareskrim Polri.
“Saya malah baru mengetahui adanya investigasi yang dilakukan Bareskrim Polri dari Anda. Bagaimana hasil penyelidikannya?” tanya Putrama kepada Kontan.co.id.
Bank berlogo angka 46 ini tercatat punya total eksposur kredit senilai Rp 459 miliar yang terdiri dari Rp 301 miliar bagian dari utang sindikasi DDST yang telah gagal bayar, dan Rp 158 miliar utang bilateral juga ke DDST yang statusnya saat ini kolektibilitas 2.
Entitas anak BNI yaitu PT Bank BNI Syariah juga diketahui memiliki eksposur pembiayaan ke DMDT senilai Rp 300 miliar. Direktur Bisnis SME dan Komersial BNI Syariah Dhias Widiati bilang pembayaran DMDT sejatinya masih lancar dan termasuk dalam kolektibilitas 1.
Sementara terkait investigasi oleh Bareskrim Polri, Dhias mengaku BNI Syariah belum mendapat panggilan untuk dimintai keterangan terkait.
Sebelumnya saat ditemui Kontan.co.id di Mall Kota Kasablanka Direktur AJ Capital Advisory Fransiscus Alip yang jadi konsultan keuangan Duniatex menjelaskan bahwa permasalahan keuangan yang melanda Duniatex disebabkan ambruknya likuiditas perusahaan akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
“Penyebab gagal bayar DDST memang dari likuiditas, salah satunya memang disebabkan oleh perang dagang antara Amerika dan Cina yang berimbas dengan penurunan marjin,” papar Alip.
Baca Juga: Bareskrim selidiki dugaan fraud Duniatex, begini komentar kreditur
Dari laporan Debtwire pada 25 Juli 2019, marjin lini penenunan (weaving) Duniatex Group melalui PT Delta Erlin Dunia Textile (DMDT) memang tergerus pada awal tahun menjadi sebesar 15,3% pada kuartal I-2019. Nilai tersebut turun 29 bps dibandingkan marjin yang diperoleh pada akhir 2018 sebesar 18,2%.
Sayangnya, penjelasan Alip tak memuaskan, sebab kompetitor Duniatex Group misalnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex justru mencatat peningkatan marjin sebesar 23 bps pada periode yang sama. Dari 15,6% pada akhir 2018, menjadi 17,9% pada kuartal I-2019.
DMDT juga diketahui membayar benang (yarn) lebih tinggi dibandingkan Sritex. Misalnya, pada 2018 DMDT membeli benang dengan harga Rp 37.112 per kilogram. Sedangkan harga beli benang Sritex senilai Rp 35.231 per kilogram. Harga beli benang DMDT juga cenderung meningkat, pada 2016 senilai Rp 33.922 per kilogram, dan senilai Rp 36.451 per kilogram. Di lain sisi, harga jual kain dari DMDT sejak 2016 justru terus merosot hingga kuartal I-2019.
Sebagai gambaran, Duniatex punya lini produksi yang terintegrasi dari enam entitas perusahaan. Di lini pemintalan (spinning) ada tiga perusahaan yaitu DDST, DDT, dan DMST, di lini penenunan ada DMDT, sedangkan di tahap pewarnaan (dyeing and finishing) akhir ada DSSAT, dan Damaitex.
“Karena lini produksinya terintegrasi, ketika di ujung (dyeing and finishing) tertekan, di atas (spinning) akan berimbas. Karena tidak semua juga yang dari spinning kami jual ke grup, ada juga yang kami jual ke luar grup,” jelas Alip.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News