Reporter: Ferry Saputra | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembayaran cicilan atau kredit dengan skema balloon payment saat ini banyak diterapkan perusahaan multifinance.
Adapun balloon payment merupakan pembayaran tunggal yang besar di akhir jangka waktu kredit yang dimaksudkan untuk melunasi sisa utang pokok yang belum dibayar. Skema itu berbeda dengan kredit pada umumnya yang dicicil secara bulanan.
Mengenai hal itu, Praktisi dan Pengamat Industri Pembiayaan Jodjana Jody mengatakan, skema balloon payment sebenarnya metode lama yang kembali hidup di saat ekonomi tertekan seperti saat ini. Dia bilang skema pembayaran cicilan itu sempat populer pada 2015.
Jody berpendapat kembali diterapkannya skema balloon payment tak terlepas dari beratnya pasar otomotif saat ini yang mana berdampak terhadap pembiayaan multifinance. Adapun sekitar 70% porsi pembiayaan multifinance didominasi segmen otomotif.
Baca Juga: Penyaluran Pembiayaan Mandala Finance Tumbuh Melambat per April 2025
"Beratnya pasar otomotif membuat beberapa multifinance mulai menerapkan marketing program seperti balloon payment," ungkapnya kepada Kontan, Kamis (12/6).
Adapun lesunya pasar otomotif bisa dilihat dari data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang mencatat penjualan mobil secara wholesales periode Januari 2025 hingga April 2025 mencapai 256.368 unit, atau turun 2,9% secara Year on Year (YoY).
Sementara itu, penjualan mobil secara retail pada periode Januari 2025 hingga April 2025 turun 7,7% YoY menjadi 267.514 unit.
Lebih lanjut, Jody menilai skema balloon payment juga menjadi salah satu alternatif untuk menjawab tantangan yang ada bagi multifinance dengan Non Performing Financing (NPF) yang masih terjaga dan berkeinginan untuk meningkatkan pembiayaan.
Dia bilang, biasanya metode yang diterapkan untuk skema balloon payment juga beragam.
"Ada yang dicicil 50% untuk 3 tahun dan sisanya cicil lagi 2 tahun berikutnya, ada juga yang cicilan tahun pertama kecil dan tahun berikutnya lebih besar (dengan pertimbangan income konsumen akan meningkat), ada juga cicilan diatur lebih besar saat panen (biasa untuk truk atau kendaraan komersil), lalu ada juga cicil 50% di awal dan 50% sisanya dibayarkan di akhir sekaligus," tuturnya.
Namun, Jody mengatakan multifinance pasti tetap mengenakan bunga kredit untuk setiap keringanan pembayaran. Sebab, cost of fund atau biaya dana tidak mungkin diserap sepenuhnya oleh multifinance.
Baca Juga: Penyaluran Pembiayaan CNAF Capai Rp 4,48 Triliun per Mei 2025
"Apabila ada bunga kredit yang dikurangi, biasanya itu subsidi dari pengurangan diskon kendaraan, subsidi Agen Pemegang Merek (APM), atau adanya kerja sama yang disepakati multifinance dengan diler dan APM," kata Jody.
Jody menerangkan skema balloon payment memiliki sisi positif bagi multifinance. Dia mengatakan skema itu bisa membantu mendorong sales atau penjualan untuk memperingan cicilan konsumen.
"Asal konsumennya di-underwriting dengan benar dan memang memiliki kapabilitas yang pas untuk mengajukan kredit, maka balloon payment menjadi cara yang cukup baik," ucapnya.
Baca Juga: Multifinance Hadapi Persaingan Ketat dari Fintech dan BNPL
Namun, Jody menyampaikan apabila kredit dengan skema balloon payment dipaksakan untuk konsumen atau kalangan yang memiliki pendapatan terbatas, tentu akan sangat berisiko gagal bayar.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Agusman mengatakan skema balloon payment yang diterapkan perusahaan multifinance merupakan bagian dari strategi responsif terhadap kebutuhan pasar dan likuiditas masyarakat.
"Jadi, skema itu tidak semata-mata disebabkan oleh lesunya penjualan kendaraan baru," ungkapnya dalam lembar jawaban tertulis RDK OJK, Rabu (4/6).
Meskipun demikian, Agusman menyampaikan multifinance diharapkan bisa terus berinovasi dan memperluas portofolio ke sektor-sektor lain yang potensial agar tidak terlalu mengandalkan skema balloon payment.
Sebagai informasi, berdasarkan kinerja industri, OJK mencatat piutang pembiayaan perusahaan multifinance mencapai Rp 504,18 triliun per April 2025. Nilai piutang pembiayaan per April 2025 tumbuh 3,67% secara Year on Year (YoY).
Adapun Non Performing Financing (NPF) gross perusahaan pembiayaan per April 2025 sebesar 2,43%. Angka itu terbilang membaik, jika dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang mencapai 2,71%.
Selanjutnya: Mobil Listrik BYD Tetap Laris Meski Otomotif Lesu, Cek Harga Atto M6 Denza Juni 2025
Menarik Dibaca: Oppo A16 Harga Juni 2025 Masih Diburu, Cari Tahu Fitur Lengkapnya Sebelum Beli
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News