Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Likuiditas yang mengatat di tahun 2019 masih bakal menjadi tantangan bagi sejumlah perbankan. Tak hanya dalam mata uang Rupiah, tapi juga untuk likuiditas berbentuk valuta asing (valas). Alhasil, sejumlah bank pelat merah berencana untuk menjaring dana non konvensional dalam bentuk surat utang guna memenuhi permintaan kredit dalam bentuk valas.
PT Bank Mandiri Tbk misalnya yang menuturkan bakal menerbitkan surat utang valas pada kuartal II 2019 mendatang dengan nominal mencapai US$ 1 miliar hingga US$ 2 miliar. Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan seluruh dana tersebut nantinya akan dipakai untuk ekspansi kredit valas perseroan.
Sebab, Tiko sapaan akrab Kartika ini mengakui kalau likuiditas atau loan to deposit ratio (LDR) valas Bank Mandiri kian mengetat di awal tahun 2019. Adapun, dana tersebut akan dikeluarkan dalam berbagai instrumen salah satunya melalui penerbitan obligasi, negotiable certificate of deposit (NCD) hingga pinjaman bilateral.
Menurut Tiko yang juga Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) saat ini beberapa bank di Tanah Air tengah digempur pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) valas yang minus. Alih-alih tidak mau kehilangan peluang, perbankan pun harus menyesuaikan keadaan lewat penerbitan surat utang.
"Kalau Rupiah tidak ada (masalah), kalau yang valas mau tidak mau harus ambil dari wholesale funding," tuturnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (30/1).
Sebelumnya, Direktur Keuangan Bank Mandiri Panji Irawan menerangkan kalau aksi korporasi ini sudah masuk dalam rencana bisnis bank (RBB) perseroan. Sebab, bank bersandi bursa BMRI ini memang berencana untuk mengerek pertumbuhan kredit dalam bentuk valas tahun ini.
Selain dalam bentuk valas, ada beberapa instrumen pendanaan lain yang akan dikeluarkan Bank Mandiri tahun ini. Antara lain, medium term notes (MTN) dan pinjaman bilateral dengan nilai mencapai Rp 10 triliun. Adapun, secara total bank berlogo pita emas ini mengincar dana non konvensional sebesar Rp 40 triliun khusus di tahun 2019.
Sebab, perseroan memandang kondisi likuiditas masih bakal ketat. Salah satunya karena prediksi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang hanya tumbuh 10% tahun ini. Sedangkan kredit lebih agresif dengan proyeksi kenaikan mencapai 12%-13%.
Selain Bank Mandiri, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) pun berencana menerbitkan obligasi valas di tahun ini. Direktur Utama BRI Suprajarto bilang pihaknya berniat luncurkan global bond untuk menambal obligasi yang jatuh tempo tahun ini, nilainya diperkirakan ada di kisaran Rp 20 triliun.
"Tidak hanya dolar tapi juga coba di green bond, totalnya sekitar Rp 20 triliun dan global bond," terangnya.
Secara terpisah, Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo menyebut saat ini perseroan tengah mengajukan izin ke regulator yakni Bank Indonesia (BI). Adapun, nilai sebesar Rp 20 triliun itu merupakan program obligasi berkelajutan selama 3 (tiga) tahun. "Kita bisa eksekusi rata-rata Rp 6-7 triliun," jelasnya.
Sementara untuk surat utang dalam mata uang valas, nilainya bakal mencapai US$ 500 juta. Tujuan aksi korporasi ini, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas BRI.
Di sisi lain, BRI saat ini dinilai sudah memenuhi syarat untuk mengeluarkan green bond. Artinya, seluruh pembiayaan yang memakai dana green bond akan digunakan untuk sektor yang ramah lingkungan.
"Di luar itu, jika diperlukan kita terbitkan pinjaman yang didapat dari bilateral. Ada beberapa bank yang sudah siap beri pinjaman, tapi kita lihat kebutuhannya di kuartal I atau II nanti," tambah Haru.
Setali tiga uang, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) pun berniat untuk meluncurkan surat hutang. Pasalnya, Direktur Keuangan BNI Anggoro Eko Cahyo mencermati pertumbuhan DPK perbankan masih akan lebih rendah dibandingkan kredit.
"BNI diperkirakan akan membutuhkan dana non konvensional di kisaran Rp 20 triliun," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (31/1). Adapun, dari jumlah tersebut sebanyak US$ 800 juta akan berbentuk valas dan sisanya Rupiah.
Namun, bank berlogo 46 ini belum dapat merinci instrumen apa yang akan digunakan. Anggoro mengatakan hal tersebut akan ditentukan sesuai dengan kondisi pasar serta kondisi likuiditas dan kebutuhan ekspansi kredit perseroan.
Sekadar informasi saja, sampai dengan akhir November 2018 lalu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukan DPK valas masih tumbuh 16,97% secara year on year (yoy) menjadi Rp 861,94 triliun.Hanya saja, untuk deposito valas kenaikannya masih terbilang tipis atau hanya 2,58% yoy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News