Reporter: Dea Chadiza Syafina |
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menganalisis, salah satu faktor yang menambah tekanan dollar Amerika terhadap nilai tukar rupiah Serikat (USD) adalah kurangnya pemanfaatan transaksi forward oleh pelaku pasar mata uang, khsusunya perusahaan besar berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah mengatakan bahwa BI mendapati instrumen pasar valas domestik masih didominasi oleh transaksi spot atau transaksi valas tunai.
"Market share transaksi spot rata-rata mencapai 73%, diikuti transaksi swap sebesar 21%," kata Difi di Gedung Bank Indonesia, Rabu (9/10).
Dengan adanya payung hukum transaksi lindung nilai ini, diharapkan bank dan perusahaan-perusahaan terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sebagian besar masih menggunakan transaksi spot, selanjutnya akan bisa beralih ke transaksi forward. Dengan demikian dapat mengurangi tekanan nilai tukar rupiah terhadap USD.
Selama ini, banyak perusahaan milik negara yang enggan menggunakan transaksi forward dengan mekanisme lindung nilai lantaran adanya kekhawatiran menyebabkan kerugian negara apabila nilai tukar rupiah menguat setelah dilakukan hedging.
"Jika ternyata rupiah dapat menguat menjadi Rp 10.000 dibandingkan dengan saat melakukan transaksi misalkan Rp 11.000, maka tentu akan rugi. Nah, jangan sampai menjadi kerugian negara karena dilakukan oleh perusahaan BUMN. Mereka (BUMN) mau melakukan hedging sebenarnya. Tapi perlu payung hukum. Jangan sampai dikira melakukan aktivitas yang merugikan," jelas Difi.
Untuk menertibkan transaksi valas, hari ini BI merilis PBI No.15/8/PBI/2013 yang mengatur tentang Transaksi Lindung Nilai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News