Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam menerapkan beberapa kebijakan tarif semakin menimbulkan ketidakpastian ekonomi global. Terlebih, ini ada kaitannya dengan arah kebijakan suku bunga The Fed yang juga semakin dinanti.
Dalam dokumen Macroeconomic Insight yang dirilis Office of Chief Economist Bank Mandiri mengungkapkan kebijakan Trump terbaru ini bisa mendorong inflasi dalam satu tahun ke depan melonjak ke 5%. Bahkan, ada potensi stagflasi dapat terjadi.
Adapun, jika inflasi AS berpotensi meningkat, secara teori, The Fed bisa meningkatkan suku bunga acuannya. Namun, jika yang terjadi adalah stagflasi, maka sikap sebaliknya bisa diambil The Fed untuk menurunkan bunga acuan.
Baca Juga: Rupiah Melemah di Awal Pekan, Investor Antisipasi Arah Suku Bunga BI dan Fed
Laporan Office of Chief Economist Bank Mandiri menilai potensi yang dapat terjadi adalah stagflasi. Alhasil, The Fed diprediksi bisa menurunkan suku bunga hingga 100 basis poin (bps) dengan timing yang lebih cepat.
Sementara itu, EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengungkapkan akan mencermati tren suku bunga ke depan. Di mana, potensi The Fed menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan sama-sama besar.
Namun, ia optimistis apapun kebijakan bunga acuan, BCA masih mampu mengelola Cost of Fund. Di mana, pendanaan BCA masih banyak didukung dana murah yang terdiri dari giro dan tabungan.
Hanya saja, jika melihat rasio dana murah BCA di Februari 2025 sejatinya mengalami penurunan tipis menjadi 82,4%. Pada bulan sebelumnya, rasio dana murah BCA di level 82,6%.
Baca Juga: Bank of Korea Pangkas Suku Bunga Jadi 3%, Target Pertumbuhan Ekonomi 2024 Direvisi
Hera pun menambahkan pihaknya akan mempertahankan posisi permodalan dan likuiditas yang solid guna menghadapi ketidakpastian global. Ini sekaligus memberikan landasan bagi pertumbuhan kredit yang berkesinambungan dan berkualitas.
Sementara itu, Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, kondisi saat ini menjadi tantangan secara global yang juga dialami oleh Indonesia. Oleh karenanya cost of funds tinggi dinilai masih membayangi.
“Likuiditas yang ketat kelihatannya akan tetap berlanjut tahun ini, termasuk daya beli yang menurun,” ujarnya.