Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jelang akhir tahun, sejumlah bank harus bergegas memenuhi modal inti minimum Rp 3 triliun. Oleh sebab itu, bank bermodal cekak ini gencar melakukan rights issue maupun private placement.
Meski memberikan dampak positif, aksi penguatan ini akan membuat kepemilikan saham publik terdilusi hingga dibawah 7,5%. Sehingga, bank harus segera bergegas memenuhi ketentuan free float bila tak ingin didepak sebagai perusahaan terbuka oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
Surat Keputusan Direksi BEI Nomor Kep-00101/BEI/12-2021 menyatakan jumlah saham free float paling sedikit 50 juta saham dan paling sedikit 7,5% dari jumlah saham yang tercatat. Adapun ketentuan free float saham ini merupakan salah satu syarat agar bagi emiten untuk tetap tercatat di BEI.
Pasca melakukan rights issue, terdapat beberapa bank yang harus segera memperbesar jumlah saham yang beredar di publik. PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR) misalnya telah menerima setoran dana sebesar Rp 499,42 miliar dari aksi rights issue pada awal bulan.
Oleh sebab itu, Bank Ok telah memenuhi modal inti Rp 3 triliun. Namun, perseroan dan pemegang saham pengendali (PSP) akan memenuhi ketentuan terkait free float. Lantaran, saat ini jumlah saham yang beredar di publik hanya 5,74%.
Baca Juga: OJK Beberkan Manfaat Wajib Modal Inti Minimum Rp 3 Triliun bagi Bank hingga Regulator
Rencananya, APRO Financial selaku PSP Bank Ok akan melepas kepemilikan sahamnya sehingga kepemilikan publik naik menjadi 9,84%. Sedangkan kepemilikan APRO Financial turun dari 93,40% saat ini menjadi 89,31%.
“Pemenuhan free float, rencananya akan kami lakukan tahun depan. Rencananya lewat mekanisme pasar,” ujar Wakil Direktur Bank Ok Hendra Lie kepada Kontan.co.id pada Senin (21/11).
Bank Ok menegaskan akan secara konsisten meningkatkan rentabilitas yang positif atas kinerja bank melalui pertumbuhan penyaluran kredit dan dana pihak ketiga.
Penambahan modal ini akan digunakan untuk pengembangan segmen retail, korporasi, komersial, serta ditunjang dengan pengembangan infrastruktur bank.
Ada juga PT Bank Maspion Tbk (BMAS) juga berencana melakukan rights issue 4,17 miliar saham baru dengan target himpunan dana Rp 1,7 triliun. Aksi ini akan membuat saham milik publik semakin mengecil.
Baca Juga: Aksi Rights Issue Padat Merayap, Investor Perlu Mencermati Fundamental Emiten
Hingga 31 Oktober 2022, kepemilikan saham publik hanya 0,29% dari 4,44 miliar saham yang beredar saat ini. Sedangkan PT Alim Investindo memiliki 53,84% dan Kasikorn Vision Financial Company PTE LTD mengempit 30,01%.
Lalu, Kasikorn Bank Public Company sebanyak 9,99% dan PT Guna Investindo sebesar 5,87%. Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Direktur Utama Bank Maspion Herman Halim tidak merespon terkait rencana pemenuhan free float BMAS.
Selain itu, PT Bank of India Indonesia Tbk (BSWD) berencana melepas 1,38 miliar saham baru untuk mencari dana hingga Rp 1,39 triliun. Adapun saat ini, pemegang saham pengendali BSWD adalah Bank of India dengan kepemilikan 86,04%.
Lalu, PT Panca Mantra Jaya sebanyak 10,46%. Lalu Prakash Rupchand Chugani sebanyak 0,99%, Prakash juga memiliki hubungan terafiliasi dengan PT Panca Mantra Jaya. Lalu, masyarakat memiliki sebanyak 2,51%.
Rights issue ini berlangsung di saat perdagangan saham BSWD disuspensi otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 12 Februari 2018 silam. Raharjo Satrio Unggul, Direktur Utama Bank of India Indonesia menyatakan memang ada isu terkait rencana delisting di jajaran pemegang saham.
Baca Juga: Soal Rencana Delisting, Begini Penjelasan Bank of India Indonesia (BSWD)
“Delisting terjadi ketika jumlah saham publik tidak terlalu banyak, sehingga waktu itu di freeze terlebih dahulu. Sampai saat ini, belum ada keputusan yang pasti dari pemegang saham,” ujar Raharjo kepada Kontan.co.id pada Selasa (15/11).
Ia melanjutkan, para pemegang saham masih belum menentukan sikap untuk mengaktifkan pergerakan BSWD atau tetap dibekukan pada bursa tanah air.
Kalaupun harus melakukan delisting, pemegang saham belum memutuskan skema pengembalian saham publik tersebut. “Belum ada kebutuhan dari mereka untuk free float lagi. Memang sudah ada diskusi, tapi belum ada keputusan baik dari pemegang saham mayoritas maupun minoritas,” jelasnya.
Research & Consulting Infovesta Nicodimus Kristiantoro menyatakan upaya memenuhi ketentuan free float bisa dimanfaatkan oleh investor. Namun, investor akan lebih tertarik menyerap bank bank yang secara fundamental bagus dan secara valuasi nya masih murah.
“Apalagi jika dalam salah satu upaya free float, bank menerbitkan right issue dengan harga dibawah harga saham yang sekarang. Secara umum jika terjadi right issue sebagai salah satu langkah memenuhi free float, biasanya harga saham bank akan turun secara jangka pendek namun jika didukung dengan fundamental baik maka harga saham akan rebound setelahnya,” ujar Nico kepada Kontan.co.id.
Lanjut ia, yang harus diperhatikan investor dalam mengeksekusi saham-saham tersebut yakni harga right issue yang seharusnya jauh lebih rendah. Jika tidak menerbitkan right issue ya bisa dipilih saham perbankan yang valuasinya masih murah secara fundamental.
Hal ini bisa dilihat berdasarkan rasio price to book value (PBV). Bank dengan PBV lebih rendah dibandingkan rata-rata industri PBV maka akan lebih murah, begitu sebaliknya.
Ia menyatakan rata rata industri PBV bisa dihitung manual dari kumpulan PBV semua bank. Berdasar data infovesta, rata rata PBV industri perbankan saat ini 3,51x.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News