Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
Dari sisi regulasi menurut Abimanyu sudah tidak ada persoalan saat ini. Kontrol sudah dilakukan dengan baik dengan strandardisasi perizinan bagi bank yang ingin menjalankan layanan digital.
Menurut Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC), Pratama Persadha, perlindungan tidak cukup hanya dilakukan pada sisi data center, tetapi dari sisi user aplikasi layanan digital juga tidak boleh diabaikan.
"Hal ini yang sering terlewatkan selama ini. Edukasi sangat penting bagi publik." ujarnya.
Baca Juga: Kredit ekspor BPD tiba-tiba melonjak tinggi, ada apa?
Di samping ancaman kejahatan siber, kejahatan perbankan yang paling tua seperti skimming juga masih kerap terjadi. Seorang pengguna Twitter lewat akun @adtynnr pada Rabu (4/9) mengaku telah kehilangan Rp 80 juta dari rekeningnya di BRI.
Raibnya simpanannya terjadi secara bertahap sejak 28 Agustus 2019 hingga 3 September 2019 lalu. Namun baru diketahui saat mencetak mutasi rekeningnya pada 2 September 2019.
Ketika dikonfirmasi, Corporate Secretary BRI Heri Purnomo menyatakan BRI akan melakukan investigasi terkait kasus ini. “BRI akan bertanggungjawab kepada nasabah yang terindikasi terkena tindak kejahatan perbankan,” katanya.
Indra Utoyo, Direktur BRI mengaku pihaknya terus melakukan penguatan sistem keamanan. Setiap tahun BRI mengalokasikan 6% dari total capex IT untuk penguatan tersebut mengacu pada best practice industry.
Baca Juga: Bank Kesejahteraan Ekonomi ekspansi ke segmen konsumer
Direktur Teknologi Informasi & Operasi BNI Dadang Setiabudi juga menyebut pihaknya selalu menyiapkan dana yang cukup besar setiap tahun untuk penguatan keamanan sistem.
Hingga Juli, BNI telah menyerap 40% dari Rp 1 triliun capex IT tahun ini. Ke depan, BNI akan terus melakukan pengembangan cyber security baik dari sisi sistem, proses, people dan organisasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News