Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Industri asuransi cemas berat. Berbagai batu sandungan menghampar di sepanjang jalan menuju 2009. Seperti industri keuangan lainnya, perusahaan asuransi juga menghadapi imbas buruk krisis global, yaitu likuiditas yang ketat.
Namun pasar bukan satu-satunya persoalan asuransi. Masalah lain yang tak kalah pelik adalah aturan modal minimal perusahaan asuransi yang termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Regulasi baru itu mengharuskan perusahaan asuransi punya modal sekurang-kurangnya Rp 40 miliar di akhir 2008 dan Rp 100 miliar di 2010. PP ini bisa menjadi mesin pembunuh massal perusahaan asuransi, terutama asuransi umum. Dari 90 perusahaan asuransi umum yang ada, cuma sepertiga yang sudah memenuhi aturan modal minimum. Sebanyak 60 perusahaan asuransi masih bermodal cekak.
Memang ada banyak cara bagi perusahaan asuransi menambah modal. Bisa saja mereka meminta pemegang saham menyuntik dana segar, mengundang investor masuk, atau melakukan merger. Hanya saja, pilihan ini serba sulit. Di saat krisis likuiditas, tak banyak investor bersedia masuk.
Opsi merger dengan perusahaan asuransi lain tak kalah sulit. "Proses ini butuh waktu lama," tandas Kornelius Simanjuntak, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI).
Merger membutuhkan waktu panjang lantaran ada aspek legal, kepemilikan saham, bisnis, modal hingga tenaga kerja yang dilebur. "Sementara waktu yang diberi oleh PP ini sangat mepet," imbuh Julian Noor, Direktur PT Bumiputera Muda (Bumida) 1967.
Jika semua upaya itu tak bisa dilakukan, asuransi umum bermodal cekak tinggal berharap pada upaya hukum yang diajukan AAUI. Bulan lalu, AAUI sudah meminta uji materi atas PP 39 ke Mahkamah Agung (MA). Kini mereka tengah menunggu hasil keputusan MA atas uji materi atas aturan itu.
Jika sukses, mereka bisa menarik napas lega. Deadline pemenuhan modal Rp 40 miliar pada 2008 bisa molor sesuai usulan mereka, yakni di 2010. Setelah itu, pemenuhan modal dilakukan secara bertahap, yakni Rp 70 miliar di 2013 dan Rp 100 miliar di akhir 2015. "Kalau ini terjadi, kami sedikit napas lega," ujar Kornelius.
AAUI mengajukan alasan yang masuk akal agar pemerintah perlu mempertimbangkan waktu pemenuhan aturan modal minimum, "Kalau aturan ini tetap berlaku, bakal ada tambahan 10.000 lebih karyawan yang kehilangan kerja," sergah Kornelius.
Namun berbeda dengan asuransi umum, asuransi jiwa bisa lebih tenang. Tinggal 23 asuransi jiwa yang modalnya di bawah Rp 100 miliar. "Itupun, pemegang saham berkomitmen segera menambah modal," ujar Eddy Berutu, Pejabat Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Makanya, AAJI hingga kini belum menerima keluhan atau keberatan dari anggotanya atas aturan permodalan itu.
Pemerintah sendiri tak berniat mengutak-atik PP 39. Kepala Biro Perasuransian Bapepam LK Isa Rachmatarwata, menegaskan, semua perusahaan asuransi wajib memenuhi aturan itu.
Dalam kondisi krisis, perusahaan yang sehat dengan modal yang kuat pasti tak akan kesulitan membayar klaim nasabah. "Tidak cuma menjual produk, mereka juga harus bisa membayar klaim," ujar Isa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News