kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

AAJI sebut UU Cipta Kerja bikin tren surrender menanjak di 2021


Jumat, 22 Januari 2021 / 16:27 WIB
AAJI sebut UU Cipta Kerja bikin tren surrender menanjak di 2021
ILUSTRASI. Petugas kebersihan membersihkan logo-logo perusahaan asuransi jiwa di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Jakarta. KONTAN/Carolus Agus Waluyo.


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi telah membuat masyarakat membutuhkan dana agar bisa tetap bertahan hidup. Hal ini membuat para nasabah asuransi jiwa melakukan pembatalan polis sebelum waktunya atau melakukan klaim nilai tebus (surrender).

Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) nilai tebus surrender tercatat sebesar Rp 67,45 triliun per September 2020. Nilai itu meningkat sebesar 9% year on year (yoy) dari Rp 61,90 triliun di kuartal ketiga 2019.

Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu menyatakan tren surrender bisa meningkat secara signifikan di tahun ini karena ada dua penyebab. Pertama, bila Covid-19 masih belum bisa dikendalikan dan perekonomian tidak membaik sesegera mungkin maka potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun potongan gaji masih akan terjadi.

“Hal itu bisa menyebabkan surrender bahkan klaim penarikan sebagian (partial withdrawal). Kedua, dengan berlakunya pasal III pada UU Cipta kerja, pemegang polis akan dikenakan PPh dari kelebihan manfaat yang mereka terima. Hal ini bisa membuat terjadinya surrender,” ujar Togar kepada Kontan.co.id pada Jumat (22/1).

Baca Juga: Klaim tebus polis di asuransi jiwa meningkat di tengah pandemi corona

Togar menjelaskan sebenarnya produk asuransi juga menempatakan dana ke berbagai instrumen investasi yang sudah dikenakan pajak. Bila produk asuransi juga dikenakan pajak, maka terjadi double taxation.

“Misalnya, untilink, itu kan prinsipnya sama dengan reksadana, ada unitnya, dikelola oleh manager investasi. Lalu ditempatkan di saham, SBN, deposito dan sebagainya, itu kan sudah dipajak. Ketika dicairkan kenapa kena PPh lagi? Jadinya dua kali dong,” papar Togar.

Hal ini membuat imbal hasil yang diberikan oleh produk asuransi berbalut investasi menjadi kurang menarik. Sehingga bisa membuat para pemegang polis melakukan surrender dan memindahkan ke instrumen investasi lainnya.

Memang dalam UU Cipta kerja, klaim asuransi yang tak dikenakan pajak hanya untuk klaim sakit, kecelakaan, cacat, dan kematian. Sedangkan bagi produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi seperti unitlink tak masuk dalam pengecualian pajak dalam beleid itu.

“Sudah kami sampatkan ke pemerintah, tapi responsnya tidak akan ada perubahan dan sudah berlaku. Ternyata pemegang polis kena pajak. Namun ya ini yang menurut kami, informasinya membinggungkan,” tukas Togar.

Adapun tren Klaim Partial Withdrawal di kuartal ketiga 2020 turun 18,5% dari Rp 12,65 triliun menjadi Rp 10,31 triliun. 

Adapun total klaim dan manfaat yang dibayarkan oleh asuransi jiwa kepada nasabahnya turun menjadi Rp 109,61 triliun. Nilai itu melambat 3,4% dibandingkan dengan September 2019 sebesar Rp 113,52 triliun.

Selanjutnya: AAJI: Klaim dan manfaat industri asuransi jiwa melambat 3,4% di September

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×