kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.561.000   59.000   2,36%
  • USD/IDR 16.802   8,00   0,05%
  • IDX 8.585   -61,06   -0,71%
  • KOMPAS100 1.186   -11,81   -0,99%
  • LQ45 849   -10,77   -1,25%
  • ISSI 307   -1,83   -0,59%
  • IDX30 437   -3,43   -0,78%
  • IDXHIDIV20 510   -2,95   -0,57%
  • IDX80 133   -1,59   -1,18%
  • IDXV30 138   -0,57   -0,42%
  • IDXQ30 140   -0,82   -0,59%

AFPI: Skema Pembayaran Tadpole di Fintech Lending Banyak Diminati Masyarakat


Selasa, 23 Desember 2025 / 19:20 WIB
AFPI: Skema Pembayaran Tadpole di Fintech Lending Banyak Diminati Masyarakat
ILUSTRASI. Ilustrasi pinjol - p2p lending (KONTAN/Muradi)


Reporter: Ferry Saputra | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Skema pembayaran tadpole (kecebong) di industri fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman daring (pindar) tengah menjadi sorotan. Skema itu merupakan pola cicilan yang lebih besar di awal dan mengecil pada periode berikutnya.

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) turut angkat bicara mengenai adanya skema pembayaran tadpole tersebut. Ketua Umum AFPI Entjik Djafar tak memungkiri bahwa skema pembayaran tadpole sangat diminati masyarakat, terutama bagi pedagang kecil atau ultra mikro yang membutuhkan pembiayaan kecil dan jangka pendek.

Entjik juga menyebut skema pembayaran tadpole tersebut menjadi ruang relaksasi bagi industri keuangan di tengah kondisi ekonomi saat ini. Dia bilang skema tersebut memiliki kelebihan yang berguna bagi borrower sehingga banyak diminati.

Baca Juga: Bank Masih Mendulang Cuan dari Bisnis Bancassurance

"Kelebihannya adalah memudahkan para pedagang kecil untuk membayar lebih besar di muka, sehingga kewajiban akan datang menjadi ringan," katanya kepada Kontan, Selasa (23/12/2025).

Lebih lanjut, Entjik mengatakan selama ini, skema pembayaran tadpole berjalan sangat baik. Hal itu dapat dilihat dari komplain masyarakat terhadap skema tadpole sangat kecil sekali, bahkan cenderung nihil.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut angkat bicara mengenai fenomena tersebut. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman mengatakan OJK telah membatasi praktik pembayaran dengan skema tadpole yang dilakukan penyelenggara fintech lending. 

"Upaya itu dilakukan untuk melindungi konsumen atas praktik pendanaan tidak sehat," ungkapnya dalam lembar jawaban tertulis RDK OJK, Rabu (17/12/2025).

OJK menyebut praktik skema pembayaran tadpole di fintech lending hanya dapat dilakukan sepanjang mematuhi ketentuan batasan manfaat ekonomi yang berlaku. 

Baca Juga: Duit Mengendap di Kartu Uang Eletronik dan Dompet Digital Tembus Rp 15,8 Triliun

Selain itu, memenuhi aspek transparansi dengan menyampaikan informasi secara lengkap kepada borrower maupun lender untuk memastikan para pihak telah memahami dan menyepakati skema pembayaran angsuran dengan jumlah yang besar pada periode awal (front-loaded installments/tadpole), serta memenuhi kualitas pendanaan dengan tingkat risiko kredit macet secara agregat atau TWP90 kurang dari 5%.

Lebih lanjut, Agusman menyampaikan OJK telah menerapkan langkah mitigasi skema tersebut dengan menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi, serta mewajibkan penyelenggara melakukan penilaian kelayakan kredit secara memadai, termasuk memperhatikan re-payment capacity, debt to income ratio, dan eksposur pendanaan borrower di penyelenggara lain. 

"Pengaturan tersebut diharapkan dapat mendorong praktik usaha fintech lending yang lebih sehat, berkelanjutan, serta sejalan dengan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen," kata Agusman.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan banyak borrower tidak menyadari dampak negatif skema tadpole. Dia bilang berbeda dengan cicilan normal yang dibagi merata setiap bulan, skema tadpole memaksa borrower membayar porsi jauh lebih besar di awal. 

Baca Juga: CNAF Pacu Penyaluran Kredit di Bulan Terakhir Tahun 2025

Dalam survei wawancara mendalam Segara Institute, sejumlah responden mengaku harus membayar 50%–75% dari total pinjaman pada cicilan pertama, sedangkan 25%–50% kemudian dilunasi melalui cicilan tetap atau makin kecil pada periode berikutnya.

Piter menilai skema tersebut dapat meningkatkan tingkat bunga efektif hingga 4–5 kali lipat dibandingkan skema pembayaran normal (non-tadpole). Meski secara nominal memiliki tingkat bunga yang sama, pola tadpole berpotensi melanggar ketentuan batas maksimum suku bunga yang ditetapkan OJK. Pada sejumlah kasus, tekanan pembayaran di awal juga diperberat oleh frekuensi cicilan yang lebih sering, sehingga beban borrower makin tinggi pada tenor awal. 

“Untuk apa konsumen pindar meminjam dengan tenor enam bulan, kalau dalam satu atau dua bulan sebagian besar pinjaman sudah harus dilunasi?” ujar Piter dalam keterangan resmi, Kamis (18/12/2025).

Berdasarkan risetnya, Segara Research Institute menyimpulkan skema pembayaran tadpole sangat merugikan konsumen dan bertentangan dengan semangat perlindungan konsumen. Oleh karena itu, Piter berpendapat skema itu perlu diatur, bahkan dilarang oleh OJK.

Untuk mengatasi dampak negatif dari skema tadpole, Piter merekomendasikan agar OJK meningkatkan edukasi kepada masyarakat, sekaligus menyusun regulasi yang melarang praktik skema tadpole. Regulasi tersebut perlu mendefinisikan secara tegas kriteria skema tadpole, termasuk praktik penarikan fee dalam porsi besar di awal pinjaman secara tidak transparan.

“Paling utama adalah transparansi, edukasi, dan memastikan kebermanfaatan bagi nasabah,” ucap Piter. 

Selanjutnya: KADIN Proyeksikan Manufaktur Mesin Utama Ekonomi 2026

Menarik Dibaca: KAI Dorong Pelanggan Manfaatkan Access by KAI untuk Mudahkan Perjalanan Nataru

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×