Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Aturan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri lembaga keuangan non bank dianggap positif untuk menopang pertumbuhan lembaga keuangan non bank. Ini sekaligus untuk memitigasi risiko terjadinya krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997 silam.
Danan Dito, Analis Pefindo mengungkapkan, melalui ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia 16/20/PBI/2014 tersebut, lembaga keuangan non bank yang mendapatkan utang luar negeri akan lebih selektif dan berhati-hati dalam mengantongi valuta asing (valas).
Sebab, lembaga keuangan non bank yang memiliki utang luar negeri, seperti dikutip dalam PBI ini harus memenuhi rasio lindung nilai minimum 25% dan rasio likuiditas minimum 70%. Perhitungan rasio tadi, utang dagang dikecualikan.
“Aturan ini juga mewajibkan korporasi yang memiliki utang luar negeri mendapatkan peringkat paling sedikit BB, kecuali utang luar negeri untuk refinancing, dan valas dari lembaga internasional untuk pembiayaan infrastruktur,” ujarnya, Kamis (13/11).
Kendati demikian, lembaga keuangan non bank boleh bernapas lega sembari melakukan penyesuaian. Karena, aturan penerapan prinsip kehati-hatian pengelolaan utang luar negeri ini baru mulai berlaku secara bertahap mulai 1 Januari 2015 mendatang dan berlaku penuh satu tahun setelahnya.
Mengenai kewajiban pemeringkatan, peringkat ini harus berasal dari perusahaan pemeringkat yang mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan dan diakui oleh BI. Minimum peringkat wajib BB- (double B minus), baik untuk peringkat perusahaan atau pun peringkat surat utang.
“Mengingat kewajiban pemeringkatan akan dimulai, sangat disarankan lembaga keuangan non bank yang mendapatkan pendanaan dari utang luar negeri untuk segera mendapatkan peringkat,” terang Danan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News