Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Siapa pun bisa menjadi korban kejahatan finansial. Tidak peduli seberapa cerdas atau berhati-hatinya seseorang, jebakan digital kini kian sulit dikenali. Dari orang tua yang baru belajar menggunakan layanan perbankan digital hingga profesional yang paham betul tentang dunia keuangan semuanya berpotensi terperangkap dalam tipu daya yang makin canggih.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Indonesia Anti Scam Centre (IASC) mencatat, total kerugian akibat penipuan di sektor keuangan telah menembus angka Rp 7 triliun. Angka fantastis ini berasal dari laporan konsumen, yang berarti kerugian sesungguhnya bisa jadi jauh lebih besar.
Dan kini, perkembangan teknologi serta kecanggihan artificial intelligence (AI), bentuk penipuan pun berevolusi. Jika dulu pelaku mengandalkan pesan teks atau panggilan tak dikenal, kini mereka bisa memanipulasi suara, bahkan wajah seseorang menjadikan kejahatan seolah datang dari orang terdekat.
Baca Juga: OJK Dorong Pemanfaatan Produk Keuangan untuk Perkuat Ekonomi Nasional
Salah satu kasus yang mengejutkan publik terjadi di Sumatera Utara pada Oktober 2025. Ayah dari artis Raline Shah, Rahmat Shah, menjadi korban penipuan setelah menerima panggilan dari seseorang yang tampak dan terdengar seperti putrinya sendiri. Pelaku berpura-pura sebagai Raline dan meminta uang untuk membeli emas. Permintaan itu datang berkali-kali hingga total dana yang ditransfer mencapai Rp 254 juta.
Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Pasti) menyebut modus ini sebagai bentuk rekayasa digital atau penipuan yang memanfaatkan kemampuan AI untuk meniru suara dan ekspresi seseorang secara meyakinkan.
Berdasarkan penelusuran aliran dana yang dilakukan oleh Indonesia Anti-Scam Centre (IASC), para pelaku mencoba mengaburkan transaksi hingga mencapai tujuh lapisan transaksi (7 layers of transaction) yang melibatkan 34 nama pada 36 rekening di 13 bank dan penyedia jasa pembayaran.
Selain ayah Raline, kasus yang kerap disebut dengan fake call alias penipuan yang mengaku menjadi pihak lain ini pernah menimpa Bupati Banyumas, Sadewo Tri Lastiono. Ia bercerita namanya dicatut oleh penipu dengan dalih penjualan mobil. Teman Sadewo mengaku kena sampai Rp 5 juta.
Menurut Sadewo, si penipu menggunakan teknologi AI yang membuat teman percaya karena omongan dan gerak mimiknya sama. Meski memang jika ditelisik lebih detil agak berbeda. "Gerak mimiknya sama, suaranya sama, hanya kalau diperhatikan benar-benar baru terasa janggal," ujarnya.
Bahkan pejabat tinggi OJK Friderica Widyasari Dewi yang kini menjabat sebagai Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga pernah kena scam keuangan. Dia bercerita, kejadiannya saat pandemi Covid-19 saat dia belum menduduki jabatan di OJK. Kala itu ada temannya yang meminta untuk sumbangan masker untuk orang-orang yang kena. Dia pun ikut serta dalam sumbangan tersebut.
Tapi saat dikonfirmasi ke sang teman ternyata ia tidak menggalang dana untuk donasi. Padahal kala itu, Friderica menyumbang dana sekitar Rp 5 juta. Sayangnya wanita yang kerap dipanggil Kiki tidak menyadari jika terkena scam sehingga kejadian tersebut makin sulit diusut.
Ketua Sekretariat Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Pasti) OJK Hudiyanto menyebut, penipuan yang melibatkan transfer sebenarnya bisa segera diusut. Asalkan laporan dilakukan kurang dari satu jam setelah kejadian. Rata-rata uang korban penipuan akan hilang dalam satu jam setelah ditransfer. Menurut dia ini adalah golden period dari penipuan ini berhasil atau tidak.
Waktu tersebut diasumsikan dari waktu perpindahan uang dari satu bank ke bank lain terjadi dalam satu menit. "Jadi kalau seseorang menjadi korban scam dan telat melapor hingga lebih dari satu jam, kemungkinan besar uangnya sudah hilang," kata Hudiyanto.
Sementara itu menurut data Hudiyanto dalam laporan Indonesia Anti Scam Center (IASC), korban yang melaporkan kasus di bawah satu jam tidak sampai 1% dari total laporan yang ada saat ini. Per 16 Oktober 2025, total laporan IASC mencapai 299.237 laporan. Minimnya laporan masyarakat diakui oleh Hudiyanto, banyak keraguan dari masyarakat mengenai efektivitas pelaporan kasus penipuan ke Satgas Pasti karena tidak yakin uang akan kembali.
Baca Juga: OJK Kaji Pembatasan Unitlink Berdasarkan Ekuitas, Berikut Kata Pengamat
Padahal menurut dia, regulator dan pelaku jasa keuangan bisa membantu dengan memblokir rekening, aplikasi, nomor Whatsapp dan lainnya. "Kami bisa memblokir semua supaya ekosistem penipuan semakin kering," tegas Hudiyanto.
Menurut data IASC hingga 16 Oktober 2025, mereka telah menerima laporan sebanyak 299.237. Dari situ total rekening yang dilaporkan mencapai 487.378 rekening. IASC juga telah melakukan tindakan dengan memblokir rekening sebanyak 94.344 rekening dengan jumlah dana yang diblokir mencapai Rp 376,8 miliar
Bahkan menurut Friderica, dari kasus yang dilaporkan 93% kasus selesai. "Mereka pelaku usaha jasa keuangan juga memiliki KPI penyelesaian kasus," kata dia di acara Diskusi Pelindungan Konsumen dan Masyarakat Sektor Jasa Keuangan di Purwokerto, Sabtu (18/10).
Ini karena IASC bekerjasama dengan berbagai stakeholder diantaranya asosiasi industri keuangan, penyedia jasa sistem pembayaran, ecommerce dan perusahaan telekomunikasi. Kolaborasi dari berbagai stakeholder sangat dibutuhkan lantaran penjahat yang dihadapi orang yang profesional. Apalagi sat ini dengan teknologi AI bentuk penipuannya makin canggih.
Hudi mencontohkan kasus penipuan pajak digital yang menyebabkan kerugian hingga Rp 250 juta dalam 47 menit. Dana tersebut dipindah ke aset kripto dan beberapa akun yang sulit terlacak.
Kiki menyebut, sinergi sangat diperlukan lantaran penyelesaian kasus dari konsumen atau pelapor bisa berbeda sesuai dengan pendekatan yang memang dibutuhkan. "Bentuknya bisa dengan penundaan transaksi alias pemblokiran, penyelematan dana korban, mengidentifikasi pelaku penipuan (data) atau bisa langsung ke penindakan hukum bekerjasama dengan Polri," papar dia.
Sinergi antar lembaga sangat penting untuk dilakukan lantaran bentuk scam sangat beragam dan terus berkembang. Bentuk penipuan yang paling populer dan banyak merugikan orang adalah fake call alias penipuan yang mengaku menjadi pihak lain. Menurut data OJK penipuan jenis ini merugikan hingga Rp 1,31 triliun hingga Oktober 2025. Adapun rata-rata kerugian mencapai Rp 42,04 juta dari 31.299 pelapor. Berikut rincian dari data OJK:
Kondisi ini menunjukkan bahwa perlindungan konsumen digital tidak cukup hanya dengan edukasi. Diperlukan integrasi sistem antar lembaga, terutama antara bank, penyedia jasa pembayaran, regulator, dan aparat penegak hukum, agar proses pelacakan dan pemblokiran dapat dilakukan secara real time.
"Penjahat digital sekarang bukan hanya bermain di satu platform. Mereka memindahkan uang ke berbagai kanal bank, dompet digital, kripto, hingga e-commerce. Karena itu, kalau kita tidak bersinergi, kecepatan sistem mereka akan selalu lebih unggul," kata Hudiyanto.
Pada akhirnya, melawan kejahatan finansial digital bukan hanya tugas satu lembaga. Ini adalah tanggung jawab bersama antara regulator, industri, dan masyarakat. Tanpa sinergi, setiap langkah akan selalu tertinggal selangkah dari para penipu yang semakin pintar memanfaatkan teknologi.
OJK kembali mengingatkan jika kepedulian dan pemahaman dari masing-masing individu juga sangat penting karena perlindungan data pribadi bermula dari diri sendiri. Hudi menyarankan setiap tindak kejahatan atau sekedar pengaduan yang berindikasi dengan pelanggaran keuangan bisa dilaporkan ke OJK melalui kontak 157. Kontak ini sudah bisa diakses dalam 24 jam.
Laporan dari konsumen tidak akan berhenti dan dikumpulkan semata. Laporan ini akan dipantau, ditindaklanjuti dan harus diselesaikan pengaduannya. Hingga Oktober 2025 total aduan yang masuk ke OJK telah mencapai 38.640 aduan dari total kontak yang masuk dari konsumen mencapai 330.376 permintaan aduan.
Baca Juga: OJK: Penempatan Investasi Dana Pensiun Terbesar di SBN dan Deposito
Dari aduan tersebut OJK akan ikut memeriksa mana aduan yang masuk dalam indikasi pelanggaran. OJK juga akan memonitor pengaduan tersebut di pelaku usaha jasa keuangan (PUJK). Kiki menyebut, pelaku usaha jasa keuangan wajib menyelesaikan. "Ketika konsumen komplain maka OJK akan memantau dalam 10 hari kerja, si PUJK tersebut harus memberikan respon dan menyelesaikan atas apa yang diadukan. Ini sudah dipercepat dari tadinya 20 hari kerja," ujar Kiki.
Jika pelaku jasa keuangan melanggar aturan hingga merugikan konsumen, mereka bisa dikenai sanksi berat, bahkan sampai penghentian kegiatan usahanya. Karena itu, kerja sama antara konsumen, pelaku usaha, dan regulator seperti OJK sangat penting. Dengan saling mendukung dan menjaga transparansi, layanan keuangan di Indonesia bisa semakin berkualitas dan terpercaya.
Melalui kolaborasi ini, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan semakin meningkat. Selain itu, percepatan penyelesaian masalah oleh pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) juga menunjukkan bahwa melapor ke OJK bukanlah hal yang sia-sia. Konsumen bisa merasa lebih aman karena ada kepastian bahwa setiap laporan akan ditindaklanjuti dan diselesaikan dengan adil.
Selanjutnya: Penjualan dan Laba DRMA Berhasil Tumbuh di Kuartal III-2025
Menarik Dibaca: Jadwal BWF World Tour 2025 Lengkap Total Hadiahnya, Siap-Siap Hylo Open
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













