Reporter: Roy Franedya | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Tingginya pertumbuhan bisnis bank menyimpan bom waktu di masa mendatang. yakni permodalan dan likuiditas. Berdasarkan hasil stress test Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), dalam lima tahun kedepan, perbankan akan terbentur dua persoalan itu.
Strest test Perbanas menggunakan beberapa asumsi. Yakni, aset tumbuh 20%-29%, kredit tumbuh 20%-25%, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 14%-19%, return on equity (ROE) bertahan di kisaran 12%-28% dan direct public offering atau penempatan langsung (DPO) tumbuh 25%.
Kebutuhan modal masing-masing bank memang tidak serentak. Berdasarkan hasil kajian tersebut, untuk menjaga pertumbuhan rasio ekuitas atau aset dikisaran 10%, kelompok cabang bank asing (KCBA) akan membutuhkan tambahan modal tahun ini.
Kelompok bank pembangunan daerah (BPD) membutuhkan suntikan modal tahun 2013. Sedangkan Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan BUSN non Devisa perlu suntikan dana pada 2014, Bank BUMN pada tahun 2015 dan Bank Campuran pada tahun 2017.
Demi menjaga rasio intermediasi atau loan to deposit ratio (LDR) di 90%, KCBA dan Bank Campuran akan menghadapi masalah likuiditas tahun ini. Sedangkan kelompok Bank BPD dan Bank BUMN memiliki likuiditas relatif kuat. Keduanya diperkirakan baru menghadapi masalah likuiditas pada tahun 2015 dan 2016 mendatang.
Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, menjelaskan untuk menjaga pertumbuhan minimal 10% dari asumsi yang digunakan pada 2015, perbankan membutuhkan dana lebih dari Rp 113 triliun.
Namun, masalahnya, pasar modal hanya mampu menyediakan pendanaan sekitar Rp 30 triliun. "Perbankan merupakan industri padat modal, pemegang saham harus berpartisipasi untuk menutupi kebutuhan modal tersebut," ujarnya pekan lalu.
Sigit juga menyarankan perbankan mengembangkan finansial inklusif dan teknologi informasi (TI). Tujuannya, memperluas sumber dana murah. "Pertumbuhan kredit harus dijaga karena kredit dibutuhkan untuk mendukung perekonomian," ujarnya.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), per Juli 2012, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) perbankan mencapai 17,28%. Adapun rasio aset likuid mencapai 19,02% dari total aset atau Rp 719,09 triliun.
Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI), Ahmad Baiquni, menjelaskan bagi Bank BUMN opsi terbaik menambah modal adalah mengurangi dividen. Pasalnya, opsi rights issue (penawaran saham baru) dan penempatan langsung tidak bisa dijalankan lantaran saham pemerintah di Bank BUMN tinggal 60%. Opsi rights issue bisa mendilusi saham milik pemerintah.
Bila setoran deviden dikurangi, semakin banyak laba ditahan yang bisa dikonversi menjadi modal inti (tier I). "Opsi lain, menerbitkan subdebt tetapi tidak semua dananya bisa dikonversi menjadi modal," ujar Wakil Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) itu.
Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja, menambahkan kebutuhan modal yang tinggi menandakan perbankan memerlukan mencetak laba besar agar mampu menjalankan kewajiban membagikan deviden dan menambah modal. "Sebelum meminta tambahan modal bank harus mengusahakan secara mandiri dulu lewat laba ditahan," ujarnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News