kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bank pelat merah dibayangi lonjakan kredit macet


Minggu, 06 September 2020 / 21:17 WIB
Bank pelat merah dibayangi lonjakan kredit macet
ILUSTRASI. Nasabah mencoba salah satu aplikasi digital Bank Mandiri


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai kelompok yang paling besar melakukan restrukturisasi kredit pandemi, bank-bank perlat merah kini turut menghadapi risiko lonjakan kredit macet. 

Catatan terakhir yang dihimpun KONTAN, empat bank pelat merah setidaknya telah merestrukturisasi kredit Rp 458,7 triliun. Nilai tersebut bahkan telah mencapai 50% lebih dari catatan restruktutrisasi bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga pertengahan Agustus 2020 yang mencapai Rp 857 triliun. 

Direktur Manajemen Risiko PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Ahmad Siddik Badruddin telah menaksir adanya potensi gagal bayar dari beberapa debiturnya yang menerima restrukturisasi sesuai ketentuan POJK 11/2020. Terlebih saat ketentuan tersebut dicabut pada Maret 2021 mendatang. 

Baca Juga: 17 proyek apartemen jadi penyumbang terbesar kenaikan NPL Bank BTN

“Kami memproyeksikan 7%-8% debitur yang direstrukturisasi akibat pandemi akan mengalami gagal bayar dan status kredit akan menjadi NPL, sejak awal debitur ini memang kami kategorikan berisiko tinggi,” katanya kepada KONTAN, Kamis (3/9).

Hingga 13 Agustus 2020, bank berlogo pita emas ini tercatat telah merestrukturisasi kredit terimbas pandemi senilai Rp 119,3 triliun kepada 545.692 debitur. Nilai tersebut setara dengan 15,8% kredit perseroan per Juni 2020 senilai Rp 871,7 triliun. 

Adapun segmen wholesale mendominasi nilai restrukturisasi kredit sebesar Rp 61,7 triliun dengan hanya 143 debitur. SEdangkan sisanya berasal dari segmen UMKM senilai RP 32,6 triliun dari 324.085 debitur, dan ritel senilai Rp 25,0 triliun dari 221,464 debitur.

“Sampai akhir tahun kami proyeksikan NPL kami akan berada di kisaran 3,5%-3,6%, kemudian pada saat POJK 11/2020 berakhir Maret 2021, dengan potensi 7-8% debitur restrukturisasi akan turun jadi NPL, maka akan ada tambahan sekitar 1,5%-2% terhadap NPL,” sambung Siddik.

Siddik menambahkan guna memitigasi risiko, meski tak diwajibkan OJK, perseroan tetap membentuk pencadangan terutama bagi debitur terimbas pandemi berisiko menengah hingga tinggi yang porsinya mencapai 40% dari nilai restrukturisasi. 

Hal senada juga disampaikan oleh PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang menaksir dari 6% kredit yang direstrukturisasi akibat pandemi diprediksi akan mengalami gagal bayar sehingga menambah tinggi rasio kredit macet perseroan. 

Hingga akhir Juni 2020, bank berlogo angka 46 ini tercatat telah menyetujui restrukturisasi Rp 119,2 triliun. adapun proyeksinya akan ada kredit senilai Rp 146,67 triliun yang direstrukturisasi. Nilai tersebut utamanya bakal didominasi sektor korporasi dengan nilai Rp 51,19 triliun. Hingga akhir tahun, perseroan pun menaksir akan terjadi peningkatan NPL hingga level 4,5%.

Sedangkan proyeksi berbeda disampaikan oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), bank yang menggelar restrukturisasi kredit terimbas pandemi paling besar ini menaksir penurunan kualitas kredit akibat pandemi tak akan terlampau besar.

“Sampai akhir tahun kami optimistis menjaga NPL di kisaran 3%, sementara terkait restrukturisasi imbas pandemi sucess rate cuku baik di kisaran 85%, sedangkan yang turun menjadi NPL masih sangat rendah hanya sekitar 1%,” kata Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto kepada KONTAN.

Hingga akhir Juli 2020, BRI tercatat telah merestrukturisasi kredit senilai Rp 183,7 triliun. ini setara 21,3% portofolio kredit perseroan senilai Rp 922,9 triliun.

Adapula Direktur Enterprise Risk Management, Big Data & Analytics PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Setiyo Wibowo menaksir 12-15% kredit yang direstrukturisasi perseroan akibat pandemi bakal menjadi NPL. 

Tanpa pandemi, kredit bermasalah tetap meningkat

Meski menjadi penyebab utama, pandemi bukan satu-satunya yang mengerek tingkat rasio maupun potensi peningkatan kredit macet alias loan at risk (LaR) bank-bank milik pemerintah ini. Bank-bank milik negara tetap mengalami kenaikan NPL, maupun LaR hingga Juni 2020.

Bank Mandiri misalnya mencatat peningkatan NPL 70 bps (yoy), dari 2,59% pada Juni 2019 menjadi 3,28% pada Juni 2020. Siddik bilang peningkatan rasio kredit macet ini utamanya berasal dari beberpa debitur besar di segmen komersial, yang terbesar berasal dari perusahaan penyediaan alat berat untuk industri batubara. Sayang Siddik enggan menyebut nama perusahaanya. 

Merujuk Laporan Keuangan Semester I-2020, industri dan pertambangan memang menjadi sumber utama terkereknya NPL Bank Mandiri. Dua sektor ekonomi ini tercatat menyumbang NPL senilai Rp 15,68 triliun atau setara 56,51% nilai kredit bermasalah perseroan Rp 27,75 triliun. Peningkatan loan at risk (LaR), juga turut ditopang dua sektor kredit ini. 

Baca Juga: Dihadapkan pada risiko kenaikan NPL, ini yang dilakukan perbankan

“Hingga akhir semester I-2020, rasio LaR kami mencapai 11,5% meningkat hingga 135 bps dibandingkan semester I-2019. Penopang kenaikan utamanya berasal dari sektor batubara, migas, perdagangan besar mesin dan peralatan,” jelas Siddik. 

Sebagai catatan, rasio LaR sebesar 11,5% telah mengeyampingkan restrukturisasi kredit akibat pandemi. jika komponen tersebut dimasukan maka LaR perseroan menjadi 22,2% per Juni 2020. Adapun sampai akhir tahun pun, LaR perseroan ditaksir Siddik masih akan meningkat ke level 13%. 

Rasio LaR tersebut juga menjadi yang paling tinggi sejak 2016, apalagi dalam dua tahun belakangan Bank Mandiri telah berhasil menekan LaR di bawah 10%. Maklum, beberapa tahun belakangan Bank Mandiri memang getol melakukan restrukturisasi kepada debitur-debitur kakapnya. pada 2016 lalu misalnya, utang PT Trada Samudera Bangsa, entitas anak PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) senilai US$ 11,24 juta direstrukturisasi Bank Mandiri cabang Singapura. 

September tahun lalu, Bank Mandiri juga ikut meneken perjanjian restrukturisasi PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Bank Mandiri merupakan kreditur terbesar dengan nilai eksposur kredit pada akhir 2019 mencapai US$ 618,28 juta kepada perusahaan baja pelat merah tersebut. 

Sementara BNI mengakui risiko kredit meningkat masih berhubungan dengan pandemi lantaran sejumlah debiturnya tak memnuhi kriteria mendapatkan stimulus restrukturisasi kredit. Nilai plafon melebihi Rp 10 miliar, atau status kredit sudah tak dalam kategori lancar.

Adapun NPL perseroan juga tercatat meningkat 1,8% Juni 2019 menjadi 3,0% pada Juni 2020. Segmen kredit menengah terutama dari sektor manufaktur logam dan baja jadi penyumbang terbesar rasio kredit macet perseroan. Sedangkan LaR BNI juga terkerek 140 bps (yoy) menjadi 10,8% pada Juni 2020.

Selanjutnya: Permintaan asuransi kredit melambat di paruh pertama 2020, ini penyebabnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×