Reporter: Andri Indradie | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Sinkronisasi aturan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus bergerak maju. Meski belum mencapai kata akhir, pada prinsipnya BI siap mendandani aturan agar kelak tidak bertabrakan lagi dengan Undang-Undang LPS.
Salah satu beleid yang akan diperbaiki BI adalah aturan boleh tidaknya bank bermasalah atau berstatus dalam pengawasan khusus, menghimpun dana pihak ketiga (DPK). Menurut UU LPS, dana yang dihimpun bank bermasalah tidak masuk dalam program penjaminan.
Peraturan BI saat ini tidak secara tegas melarang bank sakit menghimpun dana. Bank sentral hanya menetapkan, dana ini merupakan tanggung jawab pemilik bank.
BI akan mensinkronkan aturan itu dengan mempertegas pelaksanaan cease and desist order (CDO) bank bermasalah. CDO adalah perintah otoritas moneter terhadap bank bermasalah untuk memperbaiki kegiatan operasional Sederhananya, BI menetapkan apa saja yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh manajemen bank selama berada di bawah pengawasan bank otoritas perbankan. Nah, di CDO, BI akan menegaskan larangan menerima DPK bagi bank sakit.
Deputi Gubernur BI bidang pengaturan perbankan Muliaman D. Hadad menjelaskan, dari pembahasan dengan LPS, kedua institusi ini ingin agar bank menginformasikan kondisinya kepada masyarakat secara jelas dan jujur.
Yang masih mengganjal, bagaimana bank menyampaikan informasi secara jujur itu. Kalau bank langsung memasang pengumuman tidak boleh menerima dana karena sedang dalam pengawasan khusus BI, ini akan menurunkan kepercayaan nasabah. Buntutnya bisa terjadi rush. Jika itu terjadi, bank sakit bukannya menjadi sehat, bisa jadi malah langsung mati.
Lalu, bagaimana jika ada nasabah bank bermasalah berniat menyetorkan uang? "Pimpinan bank yang harus bilang, mohon maaf kami tidak...., ya, cari kalimat yang baiklah," saran Muliaman.
Masyarakat berharap BI dan LPS bersikap tegas dalam masalah ini. Jika BI dan LPS ragu-ragu melarang bank bermasalah menghimpun DPK, nasabahlah yang paling dirugikan. "Ketika bank bermasalah itu tutup, LPS menolak membayar. Alasannya, simpanan yang disetor ketika bank dalam pengawasan khusus tidak dijamin," kata Ratna Desiati, salah satu nasabah Bank IFI, Bank IFI sendiri dilikuidasi pada April 2009.
Ratna mengaku, ia merupakan salah satu korban dari ketidakjelasan aturan tersebut. Ia menyimpan dana sekitar Rp 50 juta pada Desember 2008, ketika IFI masuk ruang ICU BI. "Saya menyetorkan saja karena tidak tahu kondisi IFI dan risiko terhadap uang saya," katanya.
Total simpanan Ratna di Bank IFI mencapai Rp 755 juta dan sekitar US$ 8.700. Semua uang miliknya itu tidak bisa cair, karena LPS memvonis rekening Ratna itu tidak layak bayar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News