kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Bankir merasa senang, juragan urung hengkang


Rabu, 25 Juli 2012 / 13:58 WIB
Bankir merasa senang, juragan urung hengkang
ILUSTRASI. Harga emas Antam hari ini ada di Rp 932.000 per gram.KONTAN..Fransiskus Simbolon


Sumber: KONTAN MINGGUAN 43 XVI 2012, Laporan Utama4 | Editor: Imanuel Alexander

Para bankir masih mendalami aturan baru BI tentang kepemilikan saham bank umum. Mereka pasrah dengan penilaian kesehatan dan GCG dari BI. Yang jelas, perbankan gembira karena aturan ini tidak memaksa sang juragan hengkang.

Kala Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution meluncurkan niat untuk membatasi kepemilikan saham bank sekitar awal tahun lalu, dunia perbankan langsung heboh. Sang Gubernur ingin mengikis dominasi pemilik mayoritas dalam pengambilan keputusan di sebuah bank.
Pernyataan ini membuat banyak juragan bank merasa was-was. Lantaran, merasa belum banyak menghisap madu dari perbankan Indonesia yang mereka kuasai. Selama ini, banyak bank yang persentase kepemilikan oleh satu investor di atas 50% dari total saham. Di sisi lain, model kepemilikan mayoritas seperti ini bisa membahayakan industri secara keseluruhan. Bank sentral melihat, banyak bank gagal melalui krisis ekonomi karena dikuasai pemilik yang dominan.

Fakta ini terbukti saat krisis moneter menerjang Indonesia pada 1997. Banyak bank yang ambruk karena menyalurkan dana ke kelompok usaha sendiri. Pasca krisis 1997, masih ada beberapa bank yang jatuh karena lemahnya penerapan tata kelola yang baik (GCG). Contohnya adalah semaputnya Bank Century dan penutupan Bank IFI serta Bank Global.

Kekhawatiran bank sentral semakin memuncak kala krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa juga menunjukkan problema serupa. Struktur kepemilikan yang dominan di satu investor menjadi penghalang terwujudnya praktik tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG).

Berbagai kejadian tersebut menguatkan tekad bank sentral untuk mengatur struktur kepemilikan dengan menetapkan batas maksimum kepemilikan saham. Rabu pekan lalu, BI merilis Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/8/PBI/2012 bertanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum.

Direktur Eksekutif Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Mulya Effendi Siregar mengatakan, aturan ini menetapkan batas maksimum kepemilikan saham bank untuk pemegang saham badan hukum lembaga keuangan baik bank dan bukan bank sebesar 40%. Untuk pemegang saham berupa badan hukum bukan lembaga keuangan dan pemegang saham perorangan, terkena batasan kepemilikan maksimal masing-masing sebesar 30% dan 20%. Batasan kepemilikan untuk individu dan keluarga ini meningkat ke 25% bagi bank syariah.

Batas maksimum kepemilikan saham tersebut tidak berlaku bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pengecualian juga berlaku bagi lembaga yang memiliki fungsi melakukan penanganan atau penyelamatan bank, seperti Lembaga Penjami Simpanan (LPS).

Lebih dari 10 bank

PBI ini tak berhenti di sini.
Ke depan, hanya pemilik bank berstatus lembaga keuangan bank saja yang masih bisa menggenggam saham di sebuah bank hingga lebih dari 40%.

Itu pun harus memenuhi persyaratan tertentu dan memperoleh persetujuan BI.Untuk pemegang saham excisting, PBI ini tidak mengutak-atik jumlah kepemilikan saham mereka saat ini. Pembatasan kepemilikan baru berlaku bagi mereka bila penilaian tingkat kesehatan dan atau GCG bank yang dimiliki mendapat skor 3 atau lebih buruk. Bila dalam tiga periode penilaian berturut-turut suatu bank mendapat nilai 3-5, sang juragan harus rela melakukan divestasi alias melepas sahamnya.

Dalam aturan ini, BI memberi kesempatan pemilik dan manajemen bank dengan skor tingkat kesehatan dan GCG 3-5 untuk memperbaiki performa selama tiga periode penilaian sampai Desember 2013. Penilaian ini berlangsung tiap enam bulan. Bila dalam tiga periode itu skor tingkat kesehatan dan GCG tak di angka 2, mulai Januari 2014, pemegang saham harus melakukan divestasi. “Ada waktu lima tahun untuk melakukan divestasi,” kata Mulia.
Bank-bank yang saat ini.

memiliki peringkat 1 - 2 juga tak boleh berleha-leha. Setelah masa “memberi kesempatan” berakhir pada Desember 2013 dan skornya melorot di angka 3-5 selama tiga periode penilaian berturut-turut sejak Januari 2014, mereka juga wajib melakukan divestasi.

Agar aturan ini bergigi, BI menyiapkan rentetan sanksi bagi pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham bank. Hak pemegang saham dalam perhitungan hak suara atau kuorum dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) hanya diperhitungkan paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan. Misalnya, untuk juragan berstatus individu sebesar 20% dan selebihnya tidak diakui.

Ada juga sanksi penundaan pembayaran dividen sebesar kelebihan saham yang dimiliki bila sang owner tidak taat dengan PBI ini. Kelebihan dividen baru dibayarkan saat pemilik saham melakukan penyesuaian dengan batas maksimum. Hukuman lainnya, BI bisa melakukan uji kemampuan dan kepatutan ulang bagi pemegang saham yang tidak memenuhi batasan maksimum ini.
Bila aturan ini berlaku sekarang, berdasarkan penilaian kesehatan dan GCG yang ada, ada lebih dari 10 bank yang harus melakukan divestasi. “Tapi, masih ada kesempatan untuk memperbaiki,” kata Darmin.
Aneka pembatasan dan ancaman sanksi tak membuat pelaku bisnis perbankan keder. Mereka justru senang karena tak perlu khawatir juragan mereka harus buru-buru hengkang. Terlebih, BI mengaitkan batasan kepemilikan saham dengan tingkat kesehatan dan GCG suatu bank. “Ini akan memicu bank untuk meningkatkan dan mempertahankan tingkat kesehatannya,” papar Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional, Sigit Pramono.

Terkait metode penilaian BI terhadap tingkat kesehatan dan GCG bank, Sigit menuturkan, itu merupakan hak dari bank sentral sebagai regulator perbankan. Perbankan pasti akan mengikuti instruksi BI terkait penilaian tersebut. Dalam pandangan Sigit, bank-bank di Indonesia juga sudah memperbaiki tingkat kesehatan serta kualitas pengelolaannya.

Sementara, Direktur Kepatuhan PT Bank Tabungan Pensiunan Negara Tbk (BTPN) Anika Faisal tak dapat berkomentar terkait dampak aturan tersebut. “Tunggu dulu aturannya. Lagipula nilai komposit bank itu rahasia dan tidak dapat dipublikasikan,” ujar Anika.

Namun, Anika menilai, kualitas pengelolaan GCG perbankan nasional masih lebih baik bila dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Seperti halnya bank yang lain, bank yang dikuasai oleh Texas Pacific Group (TPG) ini juga sering melakukan self assessment dalam rangka melihat kualitas pengelolaan serta tingkat kesehatan bank.

Wakil Direktur Utama PT Bank Jasa Jakarta (BJJ) Lisawati menjelaskan, aturan ini bakal memicu bank meningkatkan kualitas pengelolaan dan tingkat kesehatannya. “BJJ sejauh ini aman-aman saja. Kami tinggal mempertahankan dan kalau bisa meningkatkan apa yang sudah tercapai selama ini,” kata Lisawati.

Direktur Utama Bank BCA Jahja Setiaatmadja juga menyambut baik aturan ini. Menurutnya, aturan Bank Indonesia ini lebih melegakan dari sebelumnya. Dia bilang, aturan ini bisa mendukung konsolidasi perbankan. “Semoga aturan baru BI ini bisa mendukung konsolidasi perbankan dan mengurangi bank-bank yang kurang sehat dan tidak comply dengan GCG,“ imbuh dia.

Respons positif juga keluar dari mulut Direktur Utama Bank Danamon Henry Ho. Kita sama-sama tahu, Temasek Holdings, pemilik Danamon, sudah sepakat untuk mengalihkan kepemilikannya ke DBS Group Holdings Ltd pada awal tahun ini. Namun, BI menghentikan sementara aksi akuisisi ini hingga terbit aturan tentang kepemilikan saham bank.

Walau masih mempelajari secara lebih detil, Henry menilai PBI ini membuat aturan main perbankan lebih jelas. “Kini, semua orang bisa melangkah maju,” kata Henry kepada wartawan KONTAN, Astri Karina Bangun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×