Reporter: Andri Indradie | Editor: Johana K.
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) berniat menetapkan net interest margin (NIM) alias margin keuntungan yang sama. Namun, para bankir berpendapat, penetapan margin keuntungan ini bisa menimbulkan kesan over-regulated di industri perbankan.
Winny Erwindia, Direktur Utama PT Bank DKI sekaligus Ketua Asosiasi Bank-bank Pembangunan Daerah (Asbanda) mengatakan, tujuan BI mematok margin keuntungan bank agar bank makin efisien. "BI ingin margin keuntungan bank jangan terlalu mahal karena akan berakibat pada ekonomi mahal," katanya, Selasa (4/5) kepada KONTAN, di Jakarta.
Winny melanjutkan, ada beberapa hal jika kesan over-regulated terjadi. Pertama, industri perbankan menjadi kurang menarik. Kedua,
over-regulated juga belum tentu menguntungkan. "Misalnya jika bank menjadi bangkrut atau kurang menarik lagi, investor juga tidak mau investasi di perbankan. Ini membuat bank sulit maju," ujar Winny.
Yang jelas, Winny menegaskan, selama ini perbankan juga tidak senang jika NIM terlalu tinggi atau mahal. "Kami mengira-ngira juga dan menyesuaikan dengan risiko. Margin itulah yang menggambarkan rasa nyaman kami terhadap risiko," tegas Winny.
Sebelumnya, BI sudah meminta bank menyerahkan tiga ukuran yang menentukan NIM. Ketiganya adalah biaya operasional tetap atau overhead cost, premi risiko, dan target laba yang dipasang manajemen. "Dalam situasi krisis, perbankan biasanya memasang premi risiko yang lebih tinggi. Otomatis, NIM ikut meningkat," kata Darmin.
Dari data yang diserahkan bank, BI akan menyusun semacam benchmark. "Nanti akan kami bandingkan juga dengan bank di luar negeri," ujarnya.
Darmin memaklumi, NIM perbankan di Indonesia tinggi karena laju inflasi di negeri yang berlari terlalu kencang. Di negara dengan laju inflasi sekitar 2%-3%, NIM perbankan di bawah 4%. Di Indonesia, laju inflasi tahunan bergerak di kisaran 5% sampai 6%. "Kisaran NIM perbankan 6%-7%," jelasnya.
Ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional Sigit Purnomo pernah bilang, NIM tidak perlu diatur atau dibatasi. "Kalaupun ditetapkan, pasti banyak bank tidak mengikuti," ujarnya.
Sigit menyarankan, BI menerbitkan imbauan agar bank menekan biaya operasional atau mengurangi margin di sektor tertentu saja. Sigit juga tidak setuju jika bunga yang tinggi merupakan penyebab kredit seret. "Masalahnya justru ada di sektor riil," ujarnya.
Wakil Direktur Utama PT Bank Jasa Jakarta Lisawati sependapat dengan pendapat Sigit. "Bunga harus ditetapkan berdasarkan risiko bank. Risiko kecil, bunga bisa rendah. Namun, risiko besar, bunganya harus lebih tinggi," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News