Reporter: Adinda Ade Mustami, Rizki Caturini | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) resmi mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/6/PBI/2018 yang berupa revisi atau penyesuaian dari peraturan Bank Indonesia (PBI) 18/17/PBI/2016 tentang uang elektronik (UE). Model bisnis uang elektronik yang kian bervariasi dan peningkatan nilai transaksi yang tumbuh tinggi mendorong regulator untuk mengatur bisnis ini lebih ketat.
Dalam revisi aturan UE ini, sejumlah hal pokok yang diatur di antaranya mengenai lembaga non bank yang wajib menyiapkan minimum modal disetor sebesar Rp 3 miliar pada saat mengajukan izin usaha UE. Besaran modal disetor akan disesuaikan dengan rata-rata perkembangan dana float (dana menganggur di uang elektronik) dalam setahun seiring berkembangnya bisnis.
Jika dana float lebih dari Rp 3 miliar-Rp5 miliar minimum jumlah disetor Rp 6 miliar. Jika rata-rata dana float di atas Rp 5 miliar-Rp 9 miliar harus menyiapkan modal disetor Rp 10 miliar. Sementara jika dana float di atas Rp 9 miliar, modal disetor Rp 10 miliar ditambah 3% dari rata-rata dana float setahun.
Adapun untuk komposisi kepemilikan asing saham penerbit lembaga non bank maksimal 49%. "BI juga dapat melakukan fit and proper test bagi penyelenggara non bank jika dibutuhkan," ujar Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Onny Widjanarko, Senin (7/5).
Untuk menghindari monopoli, satu pihak dilarang menjadi pemegang saham pengedali (memegang lebih dari 25% saham) pada lebih dari satu Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) yang memiliki izin bisnis yang sama ataupun pada kelompok yang berbeda.
Kemudian untuk penempatan dana float bagi penerbit bank BUKU IV minimal sebesar 30% harus ditempatkan di kas perbankan sendiri dan 70% dana ditempatkan di instrumen jangka pendek yang aman seperti Surat Berharga Negara (SBN). "Untuk lembaga non bank minimal 30% di giro bank BUKU IV dan 70% di instrumen surat berharga negara," ujarnya.
Poin yang penting pula batas nilai UE yang tidak teregistrasi meningkat dari Rp 1 juta menjadi Rp 2 juta. Untuk UE yang teregistrasi tetap batas maksimal Rp 10 juta setelah pada aturan sebelumnya telah mengalami kenaikan dari Rp 5 juta jadi Rp 10 juta. Ini untuk aktivitas top up maupun transaksi pembayaran.
Tetap berjalan
Ida Nuryanti, Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI mengatakan, bagi lembaga penyelenggara UE yang sudah mendapatkan izin bisa tetap terus menjalankan bisnisnya. Revisi aturan ini berlaku bagi perusahaan UE yang belum berizin dan bagi perusahaan UE yang telah berizin tapi ingin melakukan aksi korporasi.
"Masa peralihan pemenuhan aturan ini adalah enam bulan setelah aturan ini diterbitkan," ujar Ida.
Dari UE beredar sebanyak 109,77 juta unit per Maret 2018, saat ini lebih banyak yang tidak teregistrasi daripada yang teregistrasi. Ini menimbulkan risiko bagi pemegang UE misalnya ketika terjadi kehilangan kartu karena tidak ada data valid sebagai bukti kepemilikan kartu.
Selain itu, risiko kesalahan sistem perusahaan UE yang bisa saja terjadi di lembaga penyelenggara UE belum diatur dalam PBI anyar tersebut. "Ini menjadi masukan bagi kami untuk dipikirkan agar konsumen makin terlindungi," ujar Onny.
Hingga Maret 2018 terdapat 27 perusahaan (bank dan non bank) yang sudah tercatat mendapatkan izin usaha UE. Onny mengatakan, ada sekitar 20 perusahaan lagi yang saat ini masuk dalam pipeline untuk meminta izin bisnis UE.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News