Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Regulator perbankan bakal meringankan pekerjaan perbankan dalam mengelola likuiditas. Pasalnya, Bank Indonesia (BI) memperluas definisi likuiditas perbankan. Yakni dengan memasukkan surat berharga ke dalam rumus perhitungan rasio likuiditas.
Sederhananya: perhitungan kesehatan likuiditas perbankan tidak lagi mengacu pada kemampuan bank mengumpulkan tabungan, giro dan deposito, yang tertuang pada rasio kredit terhadap simpanan atawa loan to deposi ratio (LDR). Melainkan, mengacu pada rasio kredit terhadap total pendanaan bank atau biasa disebut loan to funding ratio (LFR).
Singkat cerita, perbedaan rumus perhitungan ini bakal meringankan bank mengumpulkan likuiditas lewat simpanan. Dus, bank boleh memasukkan surat berharga untuk menghindari aturan kewajiban rasio intermediasi alias LDR terhadap Giro Wajib Minimum (GWM). Dalam aturan LDR-GWM, bank yang memiliki LDR di atas 92%, terkena tambahan GWM 0,2%, dari 1% kelebihan GWM.
Agus D.W Martowardojo, Gubernur BI menyampaikan, perubahan rumus perhitungan ini merupakan salah satu bentuk penyesuaian terhadap kenaikan harga BBM. BI ingin memperluas sumber-sumber pendanaan bagi perbankan dengan tujuan bank lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor produktif.
Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI menambahkan, BI memasukkan surat berharga dalam perhitungan likuiditas lantaran beberapa bank saat ini memiliki rasio LDR yang mepet 92%, sehingga bank sulit mengucurkan kredit. “BI membolehkan penerbitan obligasi dalam perhitungan likuiditas. Aturannya akan dirilis dalam waktu dekat,” kata Halim, Selasa (18/11).
BI akan berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menerapkan aturan ini. Instrumen yang boleh dimasukkan dalam perhitungan likuiditas adalah surat berharga yang dapat diperdagangkan (tradable). Misal, penerbitan obligasi atau medium term notes (MTN) oleh bank. Catatan saja, per September 2014, rasio likuiditas perbankan Tanah Air mencapai 88,93%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News