Reporter: Nadya Zahira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis paylater multifinance kian bertumbuh. Hal ini berkaca dari piutang pembiayaan Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater perusahaan pembiayaan yang tumbuh signifikan per September 2024, mencapai Rp 8,24 triliun. Nilai itu meningkat sebesar 103,40%,
Ditambah, Non Performing Financing (NPF) gross BNPL perusahaan pembiayaan juga dalam kondisi terjaga, yakni berada di posisi 2,6% per September 2024. Angka tersebut mencatatkan kenaikan, jika dibandingkan posisi per Agustus 2024 yang sebesar 2,52%.
Menanggapi hal ini, Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memprediksi bisnis paylater dari industri perusahaan pembiayaan masih akan bertumbuh hingga akhir tahun. Mengingat kecanggihan teknologi saat ini yang mempermudah masyarakat untuk melakukan pembayaran menggunakan sistem BNPL.
Dia juga menilai, pertumbuhan piutang BNPL di perusahaan pembiayaan didorong oleh pemenuhan kebutuhan masyarakat yang masih tinggi di saat kondisi ekonomi sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Daya beli menurun hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara masif membuat kondisi ekonomi menurun.
Baca Juga: Per Oktober, 202 Pelaku Usaha Jasa Keuangan Ganti Kerugian Konsumen Rp 193,29 Miliar
“Di sisi lain, kebutuhan masyarakat bisa dibilang tetap atau bahkan meningkat. Di dalam kondisi tersebut, muncul kenaikan permintaan pembiayaan. Salah satunya melalui Buy Now Pay Later (BNPL),” kata Nailul saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (7/11).
Kendati begitu, Nailul menilai, hal tersebut merupakan sesuatu yang positif mengingat masih banyak masyarakat yang belum bankable. Pasalnya, mereka yang unbankable, tetap membutuhkan pembiayaan.
“Jadi daripada mereka lari ke pembiayaan individu seperti rentenir, ya memang lebih baik ke pembiayaan alternatif yang resmi seperti BNPL di multifinance,” imbuhnya.
Selain itu, Nailul melihat bahwa masyarakat lebih tertarik pada BNPL multifinance dibandingkan dengan kartu kredit lantaran proses pembuatan kartu kredit memakan waktu yang lama, dan ketidakpastian penerimaan membuat orang malas untuk mengurusnya.
“Terutama masyarakat muda kita malas berhadapan dengan proses seperti ini. Kita juga dihadapkan pada kondisi di mana masyarakat Indonesia juga lebih memilih transaksi menggunakan gawai,” ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa saat ini, masyarakat Indonesia juga mulai mengandalkan pembiayaan dari layanan teknologi dibandingkan dengan kartu dan pinjam keluarga atau individu.
Dengan kondisi tersebut, Nailul mengingatkan perusahaan pembiayaan perlu memiliki ekosistem yang kuat dan menciptakan reputasi yang lebih baik di masyarakat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menetapkan strategi yang baik dalam penagihan kredit, dan mengadopsi prinsip-prinsip seperti perbankan.
“Perusahaan pembiayaan tidak boleh sembrono untuk menagih hutang, mereka (perusahaan pembiayaan) juga harus mengedepankan kesehatan secara finansial, NPL nya itu dijaga 3%-5%, kemudian menggunakan SLIK dalam kredit scoring mereka," kata Nailul.
Menurut dia, cara tersebut bisa menguatkan ekosistem paylater di perusahaan pembiayaan. Meski terdapat potensi nilai NPF bisa meningkat dalam beberapa bulan ke depan, seiring dengan pola konsumsi seperti ini.
“Pasalnya, ketika pembayaran cicilan hutang sudah lebih dari pendapatan mereka, yang terjadi adalah pembayaran cicilan jadi macet. Maka potensi gagal bayar juga bisa lebih tinggi ke depan,” tandasnya.
Baca Juga: Respons CNAF Terkait Kebijakan Perpanjang Uang Muka Kredit Kendaraan Nol Persen
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News