Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal
Kenyataan investasi ke dalam negeri
Tugas Danantara tidaklah hal mudah: menginvestasikan kekuatan BUMN-BUMN Indonesia ke dalam negeri. Dalam pengelolaan dana semacam ini, ada sejumlah prinsip yang tak bisa ditawar.
Pertama, prinsip profesionalisme dan kredibilitas dalam menentukan sektor dan wilayah yang akan menerima kucuran dana investasi. Dalam sistem politik di mana kewenangan pengambilan keputusan tersebar antara parlemen, kementerian, dan otoritas daerah, proses investasi tidak bisa di-bypass begitu saja. Bila tiba-tiba perhatian hanya terpusat pada sektor atau wilayah tertentu–dan sejumlah elite tampak kompak mendukungnya, sementara rakyat justru menunjukkan keresahan, maka kredibilitas dan profesionalisme pemerintah patut dipertanyakan. Contohnya dapat dilihat dalam kasus penambangan nikel di Raja Ampat.
Kedua, prinsip keterkaitan urusan investasi dan ekosistem ekonomi serta pembangunan nasional. Investasi yang masuk ke suatu sektor harus selaras dengan kondisi fiskal dan moneter negara. Harus dihindari situasi di mana dana investasi mengalir ke satu sektor, tetapi pada saat yang sama kondisi fiskal dan moneter memburuk, atau masyarakat justru mengalami keresahan, karena rumah mereka digusur, pekerjaan digantikan oleh tenaga asing, dan harga barang melonjak.
Kerangka kerja Danantara perlu dirancang dengan keterkaitan yang jelas bersama otoritas fiskal dan moneter nasional, yaitu Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Kedua lembaga ini tidak boleh sekadar menjadi pihak yang hanya bisa bilang “yes” pada manuver Danantara, tanpa kemampuan untuk melindungi kesehatan fiskal dan moneter Indonesia. Dengan demikian, para pengelola Danantara tidak seharusnya hanya menyampaikan retorika tanpa menunjukkan keterpautan nyata dengan tata kelola keuangan negara secara menyeluruh.
Ketiga, menu tujuan investasi yang ditawarkan oleh Danantara sangatlah panjang, namun hingga kini belum nampak apa saja unggulan di tiap sektor, maupun bagaimana proyek-proyek tersebut akan dijamin keberhasilannya dalam jangka panjang setelah investor masuk. Pengalaman dari sejumlah proyek sebelumnya menunjukkan bahwa risiko idiosyncratic kerap menjadi kendala utama. Dalam kasus pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung maupun Ibu Kota Negara, pemilihan proyek investasi lebih dipengaruhi oleh preferensi politik ketimbang perhitungan ekonomi jangka panjang. Akibatnya, biaya operasional dan hambatan implementasi kerap tidak dipertimbangkan secara matang, seperti, pengadaan lahan, kondisi geologi, serta potensi force majeur seperti pandemi atau tekanan ekonomi global.
Mari kita ambil contoh badan investasi Singapura GIC dan Temasek yang berinvestasi besar-besaran untuk program pembangunan di Vietnam. Investasi mereka mencakup sektor real estat VinHomes, penerbangan Vietjet, produk susu Vinamilk, perusahaan pangan dan pertanian PAN Group, serta perusahaan platform internet dan messaging penyedia layanan kesehatan untuk ibu dan anak, VNG Corp.
Keberhasilan Vietnam menarik investasi Singapura tidak datang secara tiba-tiba. Vietnam terlebih dahulu mempersiapkan champion tiap sektor dan membangun jejaring usaha yang solid agar Singapura melihat prospek yang nyata. Kekuatan Vietnam juga diperkuat dengan kerangka kerja sama diplomatik bilateral yang strategis. Sektor-sektor yang diajukan bukan hanya prospektif dari sisi bisnis, tapi juga selaras dengan prinsip keberlanjutan– ramah lingkungan, pro-kesehatan, dan juga pro-ekonomi sosial (terutama ibu dan anak), sekaligus padat karya karena banyak menyentuh sektor pertanian.
Bandingkan dengan pendekatan Indonesia, yang kerap mendorong investasi masuk untuk mengeruk aneka produk tambang dengan mengabaikan prinsip keberlangsungan ekologi dan pemangku kepentingan lokal. Dalam konteks ini, ADQ dari Uni Emirat Arab juga merupakan contoh yang baik. Mereka aktif mencari proyek-proyek di bidang infrastruktur dan penghubung rantai pasok global–bukan hanya karena menjanjikan keuntungan, tetapi juga karena investasi semacam itu menyerap tenaga kerja dalam negeri dan menopang transformasi ekonomi jangka panjang.
Tantangan ketiga ini bukan perkara sepele. Danantara adalah lembaga negara, sehingga sebesar apapun otonomi yang diberikan, ruang geraknya bersifat relatif. Oleh karena itu, persoalan rangkap jabatan di tubuh Danantara tidak boleh dianggap enteng.
Dalam Prinsip Santiago yang dijunjung tinggi oleh para perintis SWF, ditegaskan pentingnya pemisahan peran antara pemilik dana, dewan pengawas, dan manajemen operasional. Tiap keputusan harus bisa meyakinkan pasar bahwa ia didasarkan pada kalkulasi profesional, bukan kepentingan pribadi ataupun politik. Keterpautan peran yang tidak jelas akan menggerus kredibilitas lembaga dan mengundang keraguan dari investor maupun publik.
Rumor penjajakan investasi Danantara dalam proses akuisisi GoTo Group ke Grab Holdings yang beredar sampai ke Bloomberg dan Reuters, ditampik langsung oleh Grab. Sementara itu, pernyataan pihak Danantara malah memberikan jawaban yang mengambang. Situasi ini menunjukkan bahwa Danantara belum sepenuhnya menghitung dampak dari tiap gerak gerik, bahkan rumor di antara otoritasnya sendiri. Ketidakjelasan tersebut juga mengindikasikan adanya asumsi publik bahwa preferensi pemerintah yang sedang berkuasa berpotensi menjadi pendorong utama arah gerak Danantara. Dengan kata lain, persepsi yang terbentuk adalah bahwa Danantara bisa menjadi alat kebijakan jangka pendek, bukan institusi investasi profesional yang independen.