Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kelas menengah terlihat sudah lebih banyak berhutang dibandingkan dengan menabung. Hal ini terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) secara industri kian melambat dan lebih kecil dari pertumbuhan di kredit segmen konsumer.
Berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan DPK perbankan kian menyusut hanya tumbuh 3,9% secara tahunan atau year on year (yoy) di Mei 2025 dari April 2025 yang berada di level 4,4% dan Maret di level 4,7%.
Jika dilihat dari data LPS, juga memang terjadi perlambatan pada pertumbuhan segmen tabungan perbankan khususnya untuk kelas menengah bawah dengan nilai simpanan sampai atau di bawah Rp 100 juta. Pada Mei 2025 misalnya hanya tumbuh 3,7% yoy, padahal di April 2025 masih tumbuh 4,3% dan di Januari 2025 tumbuh 4,8%.
Adapun penyaluran kredit konsumsi per Mei 2025 tumbuh 8,7% mencapai Rp 2.252,4 triliun. Kendati pertumbuhannya susut dari bulan sebelumnya atau April 2025 yang tumbuh 8,9% mencapai Rp 2.238,3 triliun.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat utang masyarakat Indonesia di BNPL di perbankan mencapai Rp 22,78 triliun per Maret 2025. Angka tersebut meningkat 32,18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Porsi kredit paylater bank tercatat sebesar 0,29% dari kredit perbankan secara keseluruhan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, tren menabung turun karena memang masyarakat sekarang ini dihadapkan pada sulitnya lapangan kerja di sektor formal. Sementara semakin banyak yang kerja di sektor informal, dan pendapatannya tidak menentu.
Baca Juga: Dana Pihak Ketiga Perbankan dari Nasabah Perorangan Terus Menyusut
"Kemudian sebagian yang selesai restrukturisasi pinjaman COVID sudah tidak boleh lagi restrukturisasi, yang akhirnya harus melakukan pinjaman baru untuk menutup pinjaman sebelumnya. Padahal kondisi bisnis terutama pelaku usaha mikro, itu belum sepenuhnya stabil," jelas Bhima kepada kontan.co.id, Rabu (2/7).
Selain itu, faktor suku bunga pinjaman yang masih tinggi juga dinilai berpengaruh terhadap ability to pay atau kemampuan masyarakat dalam membayar pinjamannya. Jadi masyarakat harus memakan tabungan untuk membayar cicilan lebih banyak lagi, atau gajinya langsung ditransfer untuk bayar cicilan, termasuk bunganya.
"Ada lagi juga faktor karena promo payletter BNPL ini masif, itu membuat masyarakat juga ketagihan dalam berutang, khususnya pinjaman yang sifatnya konsumtif. Akhirnya mereka juga sekarang menjadi berat membayar cicilan dan juga denda keterlambatannya, dia menguras tabungan dan dari sisi pendapatan," tutur Bhima.
Menurut Bhima, yang bisa dilakukan dari pemerintah, kalau pemerintah tidak bisa membantu menaikkan pendapatan, bisa dibantu dari sisi biaya-biaya bunga, suku bunganya harus cepat turun. Kemudian ada pengandalian soal BNPL harus lebih ketat dan selektif lagi memilih calon debitur, agar tidak banyak yang terjerat pinjamannya sifatnya konsumtif.
Kemudian, yang paling penting kata Bhima adalah bisa mendorong dari sisi biaya, misalnya biaya perumahan, kemudian juga soal PTKP atau penghasilan tidak kena pajak bisa naik jadi 7,5 juta, jadi uang yang harusnya untuk bayar pajak bisa digunakan untuk konsumsi atau untuk ditabung.
"Jadi masyarakat juga punya uang lebih, khususnya kelas menengah bawah untuk dana darurat atau simpanan di perbankan, untuk jaga likuditas perbankan juga lebih sehat," katanya.
Baca Juga: Penempatan Dana Pihak Ketiga (DPK) Terkonsentrasi di Empat Bank Jumbo Ini
Selain itu yang tidak kalah penting kata Bhima yakni, relaksasi PPN, PPN diturunkan dari 11% menjadi 9% sehingga ada dorongan untuk membelanjakan uangnya lebih banyak atau lebih bisa punya uang sisa untuk menabung.
Sementara Pengamat Perbankan Moch Amin Nurdin melihat hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perbankan.
“Di kondisi saat ini dengan PHK di mana-mana. Korban PHK otomatis kan ini menjadi beban berat ya untuk siapapun lah. Karena pasti dampaknya itu ke mana-mana ya. Satu hal yang pasti NPL kan tergerak naik ya. Pertama NPL di konsumer. Nah kalau kaitannya kemudian dengan pertumbuhan DPK yang melambat, ini relatif terjadi di semua bank, di semua segmen,” kata Amin.
Amin mengatakan, perlambatan ekonomi memang sudah terjadi dalam beberapa waktu kebelakang. Di awal kuartal I-2025 juga sudah bisa terlihat ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa menembus 5% dan itu menjadi tanda daya beli masyarakat itu belum pulih.
Di tengah daya beli yang melemah, DPK juga dinilai tumbuh melambat, demikian juga dengan kredit.
“Kalau kredit sudah bisa dipastikan karena tidak ada pertumbuhan ekonomi, tidak ada ekspansi, tidak ada permintaan untuk kredit. Nah kalau DPK orang sudah mulai makan tabungan karena situasi dan kondisi. Ya meskipun ada juga pertimbangan lain, jadi orang itu memidahkan yang perorangan ke instrumen investasi lain yang mendapatkan gain lebih besar semacam ori, obligasi, baik swasta, pemerintah, dan lainnya yang mengakibatkan DPK turun,” jelas Amin.
Lebih lanjut Amin mengatakan, tren simpanan di tahun ini dirasa akan stagnant, tetap melambat, dan tidak tumbuh signifikan. Sama juga dengan kredit.
“Nah kalau kemudian kelas menengah akan lebih banyak berhutang dibanding menabung mengikuti tantangan ekonomi tahun ini, saya sependapat, dan ini fenomena yang akan terjadi,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Amin untuk menjaga tren menabung, bank harus lebih proaktif melakukan sosialisasi dan pemasaran.
Selain itu, harus ada strategi bundling yang tepat antara mendatangkan DPK untuk kredit atau mendapatkan kredit untuk DPK.
Ketiga, lanjut Amin karena mau tidak mau bank harus menjaga cost of fund dan cost of borrowing-nya, bank bisa memanfaatkan digitalisasi untuk bermain database, aktif, cross-selling internal di database mereka sendiri.
Baca Juga: Sejumlah Bank Besar Pacu Transaksi Demi Jaring Dana Pihak Ketiga
Di sisi lain, sejumlah perbankan seperti PT Bank Mandiri Tbk menyebut, segmen tabungan masih mampu tumbuh dengan total DPK tumbuh sebesar 8,54% yoy menjadi Rp 1.406,8 triliun per Mei 2025.
Corporate Secretary Bank Mandiri, M. Ashidiq Iswara mengatakan, pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan dana murah, khususnya pada produk tabungan yang mencatatkan pertumbuhan solid sebesar 7,86% YoY.
"Capaian tersebut mencerminkan kepercayaan nasabah yang terus meningkat terhadap layanan dan solusi perbankan Bank Mandiri, terutama melalui platform digital unggulan seperti Livin’ by Mandiri dan Kopra by Mandiri, yang secara konsisten memberikan kemudahan, kenyamanan, dan pengalaman bertransaksi yang optimal," ungkap pria yang akrab disapa Ossy ini.
Ke depan, Bank Mandiri akan terus memperkuat inisiatif digitalisasi dan kapabilitas layanan untuk menjaga pertumbuhan DPK yang sehat dan berkelanjutan, sekaligus mendukung penguatan struktur likuiditas jangka panjang.
Tak berbeda, PT Bank Central Asia (BCA) mencatatkan jumlah rekening dengan nilai simpanan di bawah Rp 100 juta tumbuh 7,4% secara YoY per Maret 2025, dengan total nilai simpanan tercatat naik 10% YoY. Pertumbuhan simpanan di bawah Rp100 juta selaras dengan kenaikan jumlah nasabah individu baru.
Hera F. Haryn selaku EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA mengatakan, pertumbuhan tabungan dan DPK akan bergantung pada sejumlah variabel makroekonomi, baik yang berasal dari kondisi eksternal maupun kondisi domestik.
Baca Juga: Strategi Bank Syariah Indonesia (BRIS) untuk Perkuat Kualitas Dana Pihak Ketiga
Secara konsolidasi, total DPK BCA naik 6,5% YoY mencapai Rp1.193 triliun per Maret 2025. CASA tumbuh 8,3% YoY mencapai Rp979 triliun, atau sekitar 82% total DPK. Dana CASA menjadi kontributor utama pendanaan BCA seiring dengan meningkatnya volume transaksi. Frekuensi transaksi yang diproses BCA secara menyeluruh tumbuh 19% YoY.
"Mencermati kebutuhan nasabah yang dinamis dan beragam, BCA secara konsisten mengusung konsep "hybrid banking” untuk memberikan layanan secara holistik, baik di ekosistem online maupun offline, untuk dapat mempertahankan posisi di pasar dan senantiasa bertumbuh," jelasnya.
Pihaknya juga berharap pertumbuhan CASA dan DPK masih tetap solid ke depan, sejalan dengan volume transaksi yang terus bertumbuh.
Sementara Kepala Divisi Retail Funding BTN Frengky Rosadrian mengakui, jika dibandingkan dengan posisi simpanan pada bulan Mei 2025, pertumbuhan dana masyarakat menengah dengan saldo kurang dari Rp100 juta masih menunjukkan stagnansi baik di tabungan maupun deposito.
“Pertumbuhan dana terbesar masih didorong oleh segmen nasabah dengan saldo >Rp100 juta,” kata Frengky.
Walau demikian, BTN masih optimis mencapai target pertumbuhan DPK khususnya di segmen perorangan melalui optimasilasi pengelolaan debitur baru dan eksisting, akuisisi nasabah khususnya yang berasal dari segmen payroll, peningkatan diversifikasi kepemilikan produk nasabah eksisting, serta pengembangan layanan khususnya layanan digital.
“Dengan strategi tersebut, diharapkan perkembangan dana simpanan dapat menunjukkan peningkatan yang signifikan di tengah kondisi ekonomi nasional yang masih menunjukkan perlambatan,” ucap Frengky.
Hingga Mei 2025, DPK BTN tercatat mencapai Rp 397,8 triliun atau naik 10,26% yoy. Dari jumlah tersebut, giro dan tabungan tercatat naik masing-masing sebesar 8,37% dan 7,62%.
Baca Juga: Dana Pihak Ketiga Nasabah Perorangan Tergerus, Laba Bank bisa Menurun
Selanjutnya: 4 Perawatan Wajah Alami supaya Glowing dan Awet Muda, Tertarik Coba?
Menarik Dibaca: 4 Perawatan Wajah Alami supaya Glowing dan Awet Muda, Tertarik Coba?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News