Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini banyak bank di Tanah Air yang mengklaim diri sebagai bank digital. Namun, bankir besar mengingatkan bahwa bank digital memiliki tantangan untuk bisa untung dan menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan.
Berkaca dari pengalaman yang terjadi secara global, tidak banyak bank digital yang sukses. Berdasarkan riset The Boston Consulting Group (BCG), dari 249 bank digital yang ada di seluruh dunia, hanya 13 yang profitable.
Di Korea Selatan misalnya, dari tiga bank digital beroperasi, yang sudah untung hanya KakaoBank. Di China, dari 16 bank digital, hanya ada empat yang mampu meraih untung, salah satunya WeBank. Sementara di Jepang, ada Rakunten Bank.
Jahja Setiaatmadja, President Direktur BCA mengatakan, ada lima syarat minimum yang harus dipenuhi bank digital agar bisa bertahan da yang beroperasi sebagai bank digital. Pertama, harus memiliki jumlah nasabah yang besar.
Kedua, harus menggandeng ekosistem yang ada dan mempunyai jaringan merchant yang besar. Jahja bilang, sinergi membentuk ekosistem yang luas sangat diperlukan. Bank digital tidak hanya sebatas menjaring pembukaan rekening saja tetapi rekening tersebut harus menghasilkan transaksi.
Baca Juga: Simpanan nasabah tajir di Bank BCA naik 18,3% per Juni
"Jadi jangan bangga hanya dengan jumlah rekening saja. Tetapi berapa dari account ini yang melakukan transaksi. Kalau hanya jadi sleeping account saja buat apa," kata Jahja dalam dalam webinar baru-baru ini.
Ketiga, memiliki produk yang user friendly. Jika nasabah sekali mencoba satu produk dan tidak nyaman digunakan maka nasabah akan mudah beralih dan mencari produk yang lebih mudah dipakai.
Keempat, membutuhkan SDM programmer dan data analis yang handal. Menurut Jahja, pada persyaratan inilah mulai muncul rambu-rambu yang berat bagi bank digital.
Programmer dan analis data yang hebat tidak hanya dibutuhkan oleh bank digital saja, tetapi juga oleh bank tradisional, fintech domestik maupun fintech asing. Menyediakan SDM yang mapan sehingga bisa menciptakan produk yang bagus menjadi tantangan berat.
Kelima, diperlukan modal besar. Jahja menyebut, di awal bisnis, bank digital tidak akan sanggup langsung menjalankan digital lending karena data belum terbentuk. Bank digital dalam menjalankan operasinya direncanakan mengandalkan artificial intelligence atau kecerdasan buatan sebagai mesin learning. Untuk melakukan ini diperlukan pengalaman dan tidak bisa serta merta masuk secara nekad.
Sehingga untuk bisa untung di awal diperlukan modal yang besar untuk di tanam di SBN atau kredit korporasi.
"Bank Digital ini harus nebeng sementara. Ini namanya transformasi. Makanya jangan heran kalau nanti digital lending nasabahnya bukan semuanya mikro, akan ada korporasi. Kalau tidak begitu tidak akan bisa hidup," jelas dia.
Baca Juga: Dikabarkan sudah dilirik Ping An, ini kata manajemen Bank Nobu
Jahja menambahkan, bank-bank digital yang dimiliki oleh bank tradisional memiliki keuntungan. Pertama, mereka tidak perlu investasi call center sendiri. Sedangkan investasi call center itu besar. Bank digital lain mungkin akan mengakalinya dengan menggunakan outsourcing per transaksi. Semakin banyak transaksi maka biayanya akan semakin mahal.
Kedua, diuntungkan dari jaringan ATM induknya. Menurut Jahja, transaksi tunai tidak akan bisa dihilangkan di Indonesia atau sepenuhnya cashless. Dengan jaringan ATM yang tersedia, nasabah bank digital milik bank konvensional itu tetap bisa bertransaksi tanpa biaya di ATM induknya.
Selanjutnya: Akulaku Finance raih pendanaan dari Amar Bank
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News