Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Poros ekonomi kini sudah dan memasuki era revolusi industri 4.0. Kemajuan teknologi pun melahirkan banyak perusahaan teknologi finansial (Tekfin/fintech). Sedikit banyak, kehadiran fintech pun membuat pelaku jasa keuangan konvensional harus memutar otak agar tetap relevan.
Hal ini pula dibarengi dengan masifnya penggunaan internet melalui telepon pintar (smartphone). Kini melalui ponsel pintar, masyarakat bisa dengan mudah mengakses layanan keuangan.
Alhasil, layanan perbankan mulai terdisrupsi. Setidaknya, menurut Direktur Operasional dan Teknologi Informasi (TI) PT Bank Bukopin Tbk Adhi Brahmantya ada tiga segmen bisnis bank yang bisa disusupi fintech.
Baca Juga: Fintech pertanian dinilai masih potensial untuk berkembang
Pertama, dari sisi pendanaan atau funding. Kedua dari sisi transaksi semisal pembayaran dan ketiga dari sisi pembiayaan atau kredit. Lalu, siapa yang menjadi juaranya? Menurut Adhi sampai saat ini tentu saja perbankan masih lebih unggul.
Sebab, bank tentunya punya porsi dan pengalaman lebih besar dibandingkan fintech dalam urusan merangkul kebutuhan nasabahnya.
Semisal di Bukopin, perseroan mencontohkan ada tiga sektor yang menjadi fokus utama perusahaan yakni Pendidikan, Kesehatan, Agrikultur dan Pariwisata untuk penggalangan dana.
"Perbankan, termasuk di Bukopin sangat terbiasa dengan komunitas, di empat sektor ini banyak sekali yang bisa digali," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (22/12).
Begitu pula dari sisi penyaluran kredit, bank lebih unggul karena punya segmen kredit berbasis kepegawaian atau payroll bila berbicara dengan pesaing barunya fintech peer to peer (P2P).
Baca Juga: Surat utang korporasi diprediksi makin meningkat didominasi BUMN
Namun, fintech pendanaan tak bisa dianggap remeh. Lewat teknologi, layanan kredit digital mencatatkan pertumbuhan sangat cepat.
Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Oktober 2019 ini sudah terdapat 144 perusahaan tekfin yang terdaftar di OJK.
Total penyaluran pinjaman melalui perusahaan tekfin pun meningkat pesat sebesar 200,01% secara year to date (ytd) menjadi Rp 68 triliun per Oktober.
Pendorong utamanya yaitu kemudahan pembukaan akun di fintech yang memakan waktu singkat dan mudah. Khusus fintech, seluruh proses pembukaan akun dan transaksi seluruhnya dilakukan dalam melalui aplikasi pada smartphone saja.
Tak mau kalah, perbankan pun kini berbondong-bondong membuat fitur pembukaan rekening tanpa kantor yang juga melalui pemanfaatan teknologi. Selain itu beberapa bank besar kini juga sedang merancang pola penyaluran kredit secara digital.
Baca Juga: Perbankan mengklaim bisnisnya tak terganggu fitur pay later dari fintech
Bahkan, bank besar seperti PT Bank Central Asia Tbk (BCA) rela menggelontorkan dana hingga triliunan rupiah untuk mendirikan bank digital lewat pembelian Bank Royal. Tentu cara-cara ini dilakukan untuk menghadapi disrupsi yang muncul berkat kehadiran fintech.
Hanya saja, dari sisi kemudahan transaksi seperti pembayaran, banyak perbankan tak mau bersaing dengan fintech, mayoritas memilih untuk melakukan kolaborasi. Hal ini ditandai dengan banyaknya bank yang membuka manajemen Application Programming Interface atau biasa disebut Open API.
Singkatnya, open API artinya pihak bank memberikan kesempatan kepada TI perusahaan e-commerce dan fintech untuk melakukan integrasi sistem. Seperti layanan transfer, informasi saldo, mutasi rekening, dan pelacakan jaringan ATM.
Praktis, cara ini dipandang lebih murah dan efektif bagi perbankan untuk memperluas penetrasi layanan perbankan. Dampaknya, kini perbankan mulai ogah-ogahan menambah infrastruktur seperti mesin ATM, EDC hingga pembukaan kantor cabang baru.
Baca Juga: Kejar booking Rp 1,64 triliun, BNI Multifinance andalkan pinjaman bank di 2020
Sejumlah bank yang dihubungi Kontan.co.id secara kompak menyebut lebih memilih untuk menginvestasikan belanja modalnya untuk pengembangan teknologi terutama digital.
Ambil contoh, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang menyebut bahwa saat ini transaksi di kantor cabang sudah turun 30% secara tahunan.
Deputy General Manager Divisi Pengelolaan Jaringan BNI Giri Dwi Susanto menilai di tahun 2020 pihaknya lebih memilih untuk mendorong mobile banking. Perseroan juga tidak punya rencana untuk memperbanyak jumlah mesin ATM.
Di samping itu, Giri juga menyebut penambahan kantor cabang baru juga kini sudah dibatasi perusahaan. Alasannya, perseroan memilih untuk fokus memanfaatkan sarana digital yakni e-channel untuk memenuhi kebutuhan transaksi nasabah.
Adapun saat ini BNI tercatat memiliki total kantor cabang sekitar 1.915 kantor di seluruh Indonesia. Di samping itu, sebagai upaya akuisisi nasabah baru, bank berlogo 46 ini juga sudah meluncurkan mesin smart kios atau layanan pembukaan rekening melalui mesin yang bernama BNI Sonic.
Lewat layanan tersebut, nasabah diperkenankan untuk membuka rekening secara digital dan hanya memakan waktu tiga menit.
Baca Juga: Usai dapat izin dari OJK, ini yang harus dilakukan fintech P2P lending
Menurut catatan Giri, saat ini jumlah mesin BNI Sonic sudah berjumlah 125 yang terletak di beberapa kantor cabang dan pusat perbelanjaan. "Kami lebih banyak mendorong e-channel kami di tahun depan," ujarnya.
Sebagai informasi tambahan, Per November 2019 Bank BNI sudah memiliki 15.849 mesin ATM tarik tunai, 1.774 mesin CRM dan 1.001 mesin ATM non tunai. Untuk menunjang kebutuhan ekspansi tersebut, bank bersandi saham BBNI ini juga sudah menyiapkan dana sebesar Rp 1,13 triliun untuk belanja modal TI di tahun 2020.
PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) juga punya rencana serupa. Direktur Teknologi Operasional dan TI Bank BTN Andi Nirwoto memastikan di tahun depan pihaknya belum akan menambah kantor cabang.
Pasalnya, di tahun depan BTN akan lebih fokus untuk membangun ekosistem TI, salah satunya dengan mendorong manajemen API untuk menggandeng perusahaan teknologi finansial maupun rintisan yang bergerak di bidang kredit pemilikan rumah (KPR).
Baca Juga: Bertambah 12 pemain fintech, kini ada 25 fintech lending yang dapat izin OJK
Sementara dari sisi funding, bank bersandi saham BBTN ini akan fokus mendorong digital banking dengan harapan dapat menggaet lebih banyak nasabah baru.
Menurut Andi, pihaknya juga sudah menganggarkan belanja modal TI sebesar Rp 500 miliar di tahun depan. Jumlah tersebut diakuinya naik sekitar 20% dibandingkan anggaran di tahun ini yang ada di kisaran Rp 300 miliar hingga Rp 400 miliar.
Begitu pula dengan mesin ATM, BTN memilih untuk memanfaatkan integrasi dengan bank pelat merah lainnya di ATM Merah Putih (Link). Sedangkan untuk mesin Electronic Data Capture (EDC) juga tidak akan ditambah, lantaran perseroan berniat untuk mendorong pembayaran melalui teknologi Quick Respons (QR).
Adapun, saat ini jumlah outlet Bank BTN sudah mencapai 900 kantor yang terdiri dari kantor cabang pembantu, kantor kas dan kantor cabang utama. "Mungkin jumlahnya tidak akan lebih dari saat ini (tahun depan)," tegasnya, Rabu (18/12) malam.
Baca Juga: Perbankan ogah menambah kantor dan mesin ATM di tahun depan, ini alasannya
Anggaran operasional terkait TI pun juga tak kalah besar, menurut Andi total Operation Expenditure (OPEX) BTN di tahun depan ada di bawah Rp 500 miliar.
Setali tiga uang, PT Bank Mandiri Tbk menyebut akan lebih fokus meningkatkan produktivitas kantor cabang maupun e-channel. Direktur Consumer & Retail Transaction Bank Mandiri Hery Gunardi bilang pihaknya tidak punya rencana untuk menambah kantor.
"Kalau ada, kemungkinan hanya relokasi. EDC juga tidak akan ditambah, lebih ke optimalisasi bisnis saja," terangnya, Kamis (19/12).
Sebagai catatan saja, hingga September 2019 jumlah jaringan ATM Bank Mandiri telah mencapai 18.291 ATM. Di mana 16.298 ATM sudah tergabung dalam ATM Link. Adapun di tahun 2020, Bank Mandiri berencana untuk meng-upgrade 1000 ATM Tarik Tunai menjadi ATM Setor Tarik guna memudahkan nasabah melakukan penyetoran tanpa harus dibatasi jam operasional cabang.
Baca Juga: OJK Akan Rampungkan Aturan E-Proxy Tahun Ini
Hery menjelaskan, dengan menjamurnya fintech di Indonesia, budaya transaksi masyarakat saat ini sudah lebih banyak menggunakan telepon pintar atau tanpa kartu (card less).
Hal ini menandakan, masyarakat lebih nyaman menggunakan kartu dan uang elektronik ketimbang membawa segepok uang tunai untuk transaksi.
Bukopin di lain pihak, tak juga mau menambah mesin ATM apalagi kantor cabang. Sebab, selain kini seluruh ATM sudah bisa terkoneksi dengan tersedianya layanan switching, kebiasaan masyarakat memakai uang tunai pun sudah menurun.
Baca Juga: Ini 11 topik paling banyak dibicarakan netizen sepanjang 2019
Apalagi, dengan hadirnya e-commerce juga merubah pola belanja masyarakat, menurut Adhi semakin banyak transaksi di e-commerce tentunya perbankan sedikit banyak juga diuntungkan.
"Sebab pada akhirnya, fintech tetap butuh bank untuk menampung dananya, begitu pula bank butuh fintech untuk mendorong transaksinya," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News