Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan merilis regulasi otoritas terkait teknologi informasi (TI) untuk para pelaku industri keuangan non-bank (IKNB), hal ini terkait terbitnya POJK No. 4/POJK.05/2021 tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank pada Maret 2021.
Pada aturan POJK tersebut salah satunya mempersyaratkan lembaga jasa keuangan non-bank harus memiliki Pusat Data, sekaligus Pusat Pemulihan Bencana atau Disaster Recovery Center (DRC) sebagai back-up, di lokasi yang berbeda dengan Pusat Data utama.
Industri teknologi finansial peer-to-peer (P2P) lending dinilai sudah lebih dulu dibekali syarat sesuai ketentuan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal manajemen risiko penggunaan TI bagi IKNB.
Baca Juga: Riset Backbase: Perbankan Indonesia genjot investasi IT di tengah gempuran fintech
Menanggapi aturan tersebut Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyatakan, sebagai mitra OJK, AFPI senantiasa mendukung setiap regulasi yang bisa memperkuat peran fintech pendanaan dalam berkontribusi di sektor keuangan digital.
Andi Taufan, Juru Bicara AFPI mengungkapkan, saat ini kehadiran fintech pendanaan semakin relevan untuk mempermudah akses pendanaan baik bagi masyarakat maupun pelaku usaha khususnya UMKM.
"Bagi kami aturan ini mampu berdampak positif untuk industri fintech sehingga seluruh platform semakin memiliki panduan yang kuat dalam menerapkan manajemen risiko yang memadai terutama dalam penggunaan TI," kata Andi kepada kontan.co.id, Kamis (25/3).
Andi melanjutkan, AFPI secara preventif telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct (CoC) fintech Peer to Peer (P2P) lending.
"Kami berharap ke depannya upaya industri fintech pendanaan dalam menghadirkan layanan yang aman dan nyaman bagi konsumen terus terbangun dengan baik. Dalam kode etik tersebut, AFPI menetapkan aturan terkait bunga pinjaman, mekanisme penagihan dan akses data nasabah," ujar Andi.
Baca Juga: Bank Neo Commerce salurkan kredit senilai Rp 20 miliar lewat P2P lending Restock.id
Tidak hanya itu, pihaknya juga didukung dengan keberadaan fintech data center sebagai salah satu inisiatif AFPI untuk membantu secara industri agar kualitas portfolio pendanaan bisa terus meningkat, mitigasi data peminjam yang bermasalah dapat terus diwaspadai dan tidak mengajukan pendanaan di platform lain secara berlebih.
Menurutnya, seluruh platform wajib untuk berintegrasi di FDC secara real time, terutama untuk mengindikasi peminjam nakal. Jika peminjam tidak melunasi utang dalam 90 hari, maka akan tercatat pada pusat data fintech sebagai peminjam bermasalah.
AFPI bersama seluruh anggota fintech pendanaan secara langsung telah siap berkontribusi dengan ekosistem digital yang mampu memperkuat sistem credit scoring di fintech pendanaan. "Kami akan terus mengawal agar industri fintech lending terus bertumbuh dan sehat serta berperan optimal bagi masyarakat. Kebijakan yang terus berkembang saat ini akan mendorong peran fintech lending untuk mendorong inklusi keuangan," kata Andi.
Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya juga mengungkapkan, sehubungan dengan kewajiban pusat data dan pusat pemulihan bencana yang harus ditempatkan di dalam negeri, hal ini bukanlah aturan baru bagi industri P2P lending.
"Sebelumnya hal ini telah diatur dalam POJK 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, jadi Modalku memang sejak awal telah diwajibkan untuk menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di Indonesia," kata Reynold.
Reynold menyebut, Modalku bekerjasama dengan penyedia layanan cloud tingkat dunia yang telah memiliki pusat data dan pemulihan bencana di Indonesia sehingga kehandalan sistem dan keamanan data bisa lebih terjaga.
Baca Juga: Perkuat transaksi elektronik, sekarang bayar tiket DAMRI bisa pakai DANA
Melalui aturan ini, pihaknya yakin OJK telah mempertimbangkan risiko utama yang harus dimitigasi dalam bidang teknologi informasi yang tentunya akan membantu penyelenggara meningkatkan kualitas dan keandalan teknologi informasi kami.
"Kami sangat berharap aturan ini akan semakin menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan pemanfaatan teknologi informasi dari industri fintech lending itu sendiri," imbuh Reynold.
Senada, CEO & Co-Founder Bagi PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia (Akseleran) Ivan Nikolas Tambunan mengatakan, Akseleran sejak awal berdiri justru sudah dibekali persyaratan, seperti dalam Peraturan OJK No. 4/2021 tersebut.
Menurutnya, OJK memang sudah mengharuskan P2PL dari dulu untuk menggunakan data center di Indonesia, serta memiliki manajemen risiko yang baik. Tapi di POJK ini ada masa tenggang 1 tahun untuk fintech P2P, sehingga menurut Ivan untuk yang belum menerapkan, masih ada waktu untuk bersiap-siap.
Baca Juga: Dukung pemulihan ekosistem, Pintek dorong permodalan untuk institusi pendidikan
Ivan menyebut, fintech P2P pasti siap memenuhi ketentuan ini karena manajemen risiko yang terukur dan infrastruktur TI yang terjaga keamanannya, memang merupakan bekal platform P2P agar mampu berkembang dan bersaing.
"Apalagi, kami platform asli dalam negeri. Dulu kalau diperbolehkan sebenarnya kita sudah mau pakai data center dari salah satu perusahaan teknologi besar, tapi memang dari awal memang penyelenggara P2P sudah tidak diperbolehkan pakai layanan luar," tandas Ivan.
Selanjutnya: Tahun lalu, investor asing tempatkan Rp 15,32 triliun di fintech lending Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News