Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang, Nina Dwiantika | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Tahun Ayam Api diharapkan menjadi titik balik bagi perbankan setelah bisnisnya kurang mekar di 2016. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di tahun depan menjadi harapan para pengelola bank.
Pertumbuhan ekonomi selalu beriringan dengan bisnis bank. Ekonomi yang lambat membuat fungsi intermediasi bank ikut tersendat. Sebaliknya, bila ekonomi 2017 benar lebih menggeliat akan membuat bisnis bank juga bakal lebih liat.
Apalagi, tren perlambatan pertumbuhan kredit juga terjadi sejak tahun 2014 dan sepertinya mencapai level pertumbuhan terendah di tahun ini. Hingga Oktober 2016, pertumbuhan kredit perbankan tercatat cuma 7,44%.
Boleh jadi tahun 2017 menjadi titik balik perbankan. Berdasarkan rencana bisnis bank (RBB) yang disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan lebih optimistis di tahun depan.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon, pertumbuhan kredit tahun depan terangkat sedikit yang sebesar 9%-11%. Ini lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan kredit perbankan tahun ini yang hanya 7%-9%. Proyeksi Bank Indonesia (BI) lebih tinggi lagi. Yakni, kredit bisa tumbuh 10% di 2017.
Toh begitu, tantangan berat masih belum berlalu. Tahun depan, perbankan belum lepas dari tekanan yang bisa mengganjal kinerja. Pertama, soal likuiditas. Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat alias The Federal Reserve (The Fed) yang berniat menaikkan suku bunga acuan hingga tiga kali di tahun depan menjadi pangkal masalahnya. Kebijakan The Fed akan memicu capital outflow yang bisa mengetatkan likuiditas di pasar keuangan, termasuk Indonesia.
Andai likuiditas ketat, tentu menyulitkan perbankan menggeber penyaluran kredit. Gelagat pengetatan likuiditas sudah terlihat dari rasio likuiditas atawa loan to deposit ratio (LDR) perbankan yang sudah mepet batas atas. Mengutip data OJK, hingga kuartal III-2016 LDR perbankan berada di level 91,71%.
Untuk menggenjot pertumbuhan kredit, perbankan butuh bahan bakar likuiditas. Selain tentunya daya serap masyarakat yang juga harus tumbuh. Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Asmawi Syam mengakui, likuiditas perbankan termasuk di BRI sempat mengetat.
Namun kini sudah kembali normal. "Likuiditas sedikit ketat karena LDR sudah tinggi. Tapi kalau dilihat industri, mulai turun, dan LDR sudah mulai stabil lagi," ujar Asmawi.
Nelson mengatakan, likuiditas di akhir tahun ini sudah mulai encer. Ia memperkirakan, di pengujung tahun ini rasio likuiditas akan menurun ke posisi 82%. Program pengampunan pajak ikut menopang likuiditas perbankan.
Cuma masalahnya, program amnesti pajak akan berakhir Maret 2017 dan dana-dana sudah banyak tersedot tahun ini.
Tantangan kedua, kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) masih membayangi. Tahun ini, banyak bank kinerjanya tertekan NPL yang menanjak. Bank-bank harus menyediakan provisi atau pencadangan dalam jumlah besar yang ujungnya menggerus laba.
Kredit macet masih menjadi momok menakutkan, lebih-lebih kalau kurs rupiah tertekan terhadap dollar AS. Hanya saja, otoritas sektor keuangan yakin, kredit macet perbankan akan lebih terkendali di tahun depan. "Kalau dana repatriasi masuk ke sektor riil, saya melihat pertumbuhan kredit bisa naik signifikan. Kalau kredit naik signifikan, NPL seharusnya bisa ikut ditekan," ujar Nelson.
Setali tiga uang, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai kredit macet perbankan seharusnya sudah mencapai puncaknya di tahun ini. Kepala Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS, Muhammad Dody Ariefianto bilang, sektor perdagangan merupakan sektor terakhir yang ada dalam siklus NPL. Dalam siklus NPL yang disebabkan depresiasi nilai tukar, yang pertama terkena dampak adalah sektor pertambangan dan manufaktur karena memiliki komponen impor paling besar.
Yakin permintaan membaik
Tantangan ketiga, daya serap atau permintaan kredit yang rendah. Tahun ini, tren penurunan bunga kredit tak serta merta mendongkrak penyaluran kredit. Permintaan kredit yang lemah menjadi biangnya. Namun, seiring membaiknya ekonomi pada tahun depan, bankir berharap bisa pula menggenjot permintaan kredit.
Sekretaris Perusahaan Bank Central Asia (BCA) Jan Hendra bilang, jika pertumbuhan ekonomi bisa lebih baik atau sesuai dengan proyeksi BI yakni sebesar 5,2%, dipastikan perbankan akan menerima imbas yang positif. "Secara pertumbuhan, BCA berharap akan lebih baik dan moderat pada tahun depan dibanding tahun ini," ujar Jan.
Asal tahu saja, hingga akhir 2016 BCA menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 8%-9%. Sementara itu, pada tahun 2017 mendatang BCA menargetkan pertumbuhan kredit dobel digit yakni di kisaran 10% sampai 12%.
Taswin Zakaria, Presiden Direktur Maybank Indonesia juga yakin, bermodal bunga kredit cukup rendah, permintaan kredit bisa terangkat. Maybank sendiri telah memberikan bunga kredit single digit bagi kredit korporasi dan konsumer. Cuma, bunga kredit usaha kecil dan menengah masih dua digit.
Tahun depan, Maybank Indonesia mengandalkan kredit korporasi dan konsumer. Kredit korporasi akan tumbuh sekitar 20% karena dukungan sektor infrastruktur. Sedangkan kredit konsumer bakal naik 10%-11% terdorong segmen kredit perumahan dan kendaraan bermotor.
Permintaan bakal makin deras andai tiga sektor yang paling banyak memberi kontribusi ke ekonomi yakni perkebunan, tambang dan minyak membaik. "Kalau tiga sektor ini membaik, saya berani jamin 2017 akan lebih baik," tandas Nelson. Semoga saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News